Sabtu, 22 Maret 2014

Wahabi Bertabarruk dengan Tanah Makam Ibnu Taimiyyah

Kelompok minoritas yang mengaku mengikuti dan membela sunnah Nabi serta mengaku cinta Nabi, sudah dikenal hoby memvonis syirik, musyrik kepada mayoritas muslimin yang bertabarruk ke makam orang-orang shaleh. Bahkan mereka pun memvonis syirik orang yang bertawassul dengan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
Tapi faktanya, dengan bangga mereka menceritakan dalam salah satu kitab karya ulama wahabi suatu kisah di mana pecinta Ibnu Taimiyyah bertabarruk dengan tanah makamnya untuk kesembuhan dari penyakit mata. Tak ada satu pun wahabi yang memvonis syirik perbuatan ini, atau minimal mengkritik tulisan ulama wahabi yang menulis kisah tersebut. Saya publish di sini supaya para korban penipuan wahabi sadar dan mau merenungi kerancuan dan kegalauan cara berpikir kaum wahabi-salafi ini. 

Di dalam kitab yang berjudul ‘ Ar-Raddu Al-Wafir ‘ala man za’ama bianna man summiya bi-ibni Taimiyyah kafir “ halaman : 135 karya Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi yang ditahqiq oleh Zuhair asy-Syawis (ulama yang diklaim ahli hadits sahabat Albani selama 40 tahun) disebutkan :



Diriwayatkan oleh Ibnu Hajji dari Al-Baththoihi Al-Mizzi, ia berkata :

“ Ketika aku masih muda, dan putriku terkena penyakit mata. Aku memiliki keyakinan pada Ibnu Taimiyah. Beliau juga sahabat ayahku dan sering berkunjung pada ayahku. Maka aku berkata dalam hati “ Aku akan datang ke makam Ibnu Taimiyah dan mengambil tanah untuk aku jadikan cela mata putriku, akrena putriku sudah lama sakit mata dan cela apapun belum bisa menyembuhkannya. Maka aku dating ke kuburan Ibnu Taimiyah lalu aku melihat seorag dr Baghdad sdang mengumpulkan tanah kubur beliau.

Lalu aku bertanya kpdanya “ Apa yang sedang kau lakukan ? “

Ia menjawab “ Aku mangambil tanah Ini untuk aku jadikan tanah celak bagi anak-anaku yang sedang sakit mata “.

Lalu aku bertanya lagi “ Apakah bermanfaat ?”

Ia menjawab “ Ya, dan ini sungguh mujarrob “. Maka aku bertambah yakin atas tujuanku datang ke sini, lalu aku mngambil tanah kubur Ibnu Taimiyah dan aku jadikan cela lalu kugunakan (koleskan ke mata) pada putriku yang sedang tidur, maka sembuhlah “. (Ar-Raddu Al-Wafir halaman : 135)




Pada edisi terbarunya terbitan Kurdustan al-‘Ilmiyyah Mesir tahun 1429 H teks itu disebutkan pada halaman 97. 






Minggu, 07 Juli 2013

Keharaman mengucapkan “ Ramadhan Kariim “ ?




Menjelang Ramadhan tak sedikit kaum muslimin yang menyambutnya dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat memotivasi agar semangat dan gembira menyambut bulan suci Ramadhan. Ada juga yang membuat rangkaian kata-kata bijak semisal “ Ramadhan bulan Sabar “, “ Bulan Ramadhan bulan maghfirah, berkah dan rahmat “, Ramadhan bulan Mulia “ dan lain sebagainya.

Namun ternyata ada seorang ulama besar dari kalangan kaum yang identik berslogan kembali kepada al-Quran dan Sunnah-nya, mengharamkan ucapan “ Ramadhan Kariim “..apa alasannya ? mari kita simak dan membahasnya sesuai al-Quran dan Hadistnya, siapakah sebenarnya yang kembali pada al-Quran dan hadits dan kembali kepada pemikirannya sendiri?…




452. Syaikh Ibnu Utaimin ditanya : Ketika seseorang yang berpuasa melakukan perbuatan dosa, lalu ia dilarang, kemudian ia mengucapkan “ Ramadhan Kariim “, maka bagaimakah hokum ucapan tersebut ? Dan bagaimana pula hokum kelakuan itu ?

Maka syaikh menjawab : “ Yang demikian itu hokum ucapan tersebut (Ramadhan Kariim ) tidaklah dibenarkan, seharusnya ia mengucapkan “ Ramadhan Mubarak “ (Ramadhan yang diberkahi) dan yang semisalnya. Karena bukanlah Ramadhan yang sebenarnya member hingga patut disebut Kariim (dermawan), dan sesungguhnya yang meletakkan keutamaan di bulan Ramadhan dan menjadikannya bulan utama dan waktu untuk melaksanakan salah satu rukun Islam. Dan seoalah-olah orang yang mengucapkan itu menyangka bahwa dengan keutamaan zaman boleh melakukan perbuatan dosa di dalamnya. Ini bertentangan dengan ucapan ulama bahwa perbuatan dosa itu akan menjadi besar jika dilakukn di bulan yang utama, berbeda dengan apa yang dibayangkan pengucap tersebut…dst.”[1]

Tanggapan :

Sepintas tidak ada yang salah dari jawaban syaikh Ibnu Utsaimin dari pertanyaan di atas, namun jika kita perhatikan wujuhud dalil (focus pembahasan dan pendalilan)nya terlihat sangatlah lucu dan ngawur.

Pembahasan : 

Ibnu Utsaimin telah benar menjawab keharaman melakukan perbuatan dosa di bulan puasa dan dosanya bisa berlipat ganda. Namun ia telah salah besar mengharamkan ucapan “ Ramadhan Kariim “ apapun alasannya secara muthlaq maupun dinisbatkan dengan perbuatan dosa.

Jika syaikh Ibnu Utsaimin mengharamkan ucapan si pelaku maskyiat  “ Ramadhan Kariim “ dengan alasan prasangka si pengucap akan keutamaan di bulan Ramadhan sewaktu ia melakukan perbuatan dosanya, lalu apa bedanya dengan ucapan “ Ramadhan Mubarak “ yang dibolehkan oleh Ibnu Utsaimin ? jika alasannya demikian seharusnya ia mengharamkan ucapan apapun yang dinisbatkan kepada bulan Ramadhan. Karena seharusnya sesuai jalan pemahaman Ibnu Utsaimin, melakukan perbuatan dosa dengan sangkaan bulan ini bulan penuh keutamaan atau keberkahan, sama saja diharamkan. 

Contoh gambaran pertama : Ahmad berbuat dosa, lalu ia berkata “ Ini bulan mulia atau ini bulan dermawan “. Oleh Ibnu Utsaimin ucapan itu tidak dibenarkan.

Contoh gambaran kedua : Abdul berbuat dosa, lalu ia berkata “ Ini bulan diberkahi atau bulan penuh berkah “. Oleh Ibnu Utsaimin ucapan ini dibenarkan. 

Apa bedanya ?? 

Jika alasanyya Ibnu Utsaimin mengharamkan ucapan itu dengan alasan prasangkaan si pelaku bahwa boleh berbuat dosa di bulan yang ada keutamaan, maka jelas salah. Karena keharamannya bukan disebabkan ucapan tersebut melainkan semata-mata perbuatannya dan keyakinannya jika kita mengetahui isi hati dan keyakinannya. 

Jika Ibnu Utsaimin mengharamkan ucapan tersebut dengan alasan makna kalimatnya yakni bahwa Ramadhan bukanlah kariim (suka memberi) yang kariim (suka memberi) itu hanyalah Allah sebagaimana fatwanya di atas, maka jelas ini suatu pendalilan yang ngawur dan sangat bodoh.

Pertama : Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“ Bahwasanya amal itu hanyalah bergantung dengan niatnya “.

Semisal seseorang mengatakan “ Aku sembuh minum obat ini “ apakah lantas orang ini kita haramkan ucapannya karena telah meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkannya ? atau semisal ucapan “ Makanan ini mengenyangkan “, apakah lantas kita salahkan orang tersebut, atau bahkan kita vonis musyrik karena telah meyakini makanan yang membuat kenyang ?

Jika kita langsung salahkan, maka akal kita telah sakit. Secara fitrah manusia tidaklah sesorang mengucapkan Ramadhan Kariim (mulia), terkecuali ia telah meyakini bahwa Allah-lah yang meletakkan kemuliaan pada bulan Ramadhan tersebut. 

Bukankah dalam al-Quran sendiri Allah sering kali menisbatkan sesuatu kepada sebabnya, missal Allah berfirman :
ماهذا بشر إن هذا الا ملك كريم

“ Ini bukanlah manusia, melainkan malaikat yang kariim (mulia) “ (QS. Yusuf : 31)
Missal lagi Allah berfirman :
ولقد فتنا قبلهم قوم فرعون وجاءهم رسول كريم

Dan demi Sesungguhnya! Sebelum mereka, Kami telah menguji kaum Firaun, dan merekapun telah didatangi oleh seorang Rasul (Nabi Musa) Yang mulia “. (QS. Ad-Dukhan : 17)

Apakah lantas ayat ini kita katakan tidak benar, dengan alasan bukan malaikat dan Rasul yang kariim tapi Allah ?? kita berlindung dari sifat safiihul aql (lemahnya akal)..
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
قل يتوفاكم ملك الموت
Katakanlah wahai Muhammad: "Nyawa kamu akan diambil oleh Malakul-Maut “. (QS. As-Sajdah : 11)

Apakah malaikat Maut yang mewafatkan nyawa makhluk Allah ? salahkah Allah berfirman seperti itu ?? naudzu billahi min sakhoofatil aql (kita berlindung dari rusaknya akal).

Kedua :  Dalam ilmu Shorof, kata Kariim (كريم) memiliki banyak bab dan maknanya salah satunya bab karuma dan akroma. Makna pada bab fa’ula adalah mulia pada dirinya contoh : Nabaatun kariim (Tumbuhan mulia) atau farasun kariim (kuda mulia) dan mulia akhlaknya, contoh : rojulun kariim (seseorang yang mulia akhlaknya). Contoh lainnya :  karuma as-sahaabu maknany awan itu membawa hujan dan seterusnya.[2] Al-Farra mengatakan :

العرب تجعل الكريم تابعا لكل شيء نفت عنه فعلا تنوي به الذم

“ Kaum Arab menjadikan kalimat “ Kariim / mulia “mengikuti segala sesuatu apapun yang bertujuan meniadakan celaan “.[3]

Demikiannya juga kalimat “ Ramadhan Kariim “ dalam ilmu bahasa Arab bermakna : “ Ramadhan yang mulia “ atau bisa “ Ramadhan yang dimuliakan “. 

Dengan kaidah ini, tidak bisa disalahkan sama sekali orang yang mengucapkan “ Ramadhan Kariim “ dalam keadaan apapun. 

Saran Shofiyyah, seharusnya om Ibnu Utsaimin sebelum berfatwa pelajari dulu lebih dalam, jangan asal ngucap...jadinya kembali pada pemikirannya sendiri bukan kembali pada al-Quran dan Sunnah...

By : Shofiyyah An-Nuuriyyah
07-07-2013





  




  


[1] Majmu’ Fatawa wa Rosaail Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, juz 20 hal. 93-94, nomer. 452
[2] Lisanul Arab, juz 13 hal. 53
[3] Lisanul Arab, juz 13 hal. 52

Kamis, 07 Maret 2013

BUKTI PENYIMPANGAN AKIDAH WAHHABI-SALAFI..!!!

Sedikit saya buktikan bahwa akidah wahhabi bukanlah akidah yang dibawa oleh Rasulullah Sw, ajaran wahhabi-salafi bukanlah ajaran Islam. Mereka sangat jauh menyempal dari ajaran Ahlus sunnah waljama'ah, sangat jauh meluncur bagaikan anak panah yang meluncur dari busurnya dan tak kan kembali lagi.

Dalam kesempatan ini, saya tidak menampilkan puluhan bukti yang ada dalam dokumen saya, tapi cukup sedikit ini akan menjadi bukti penyimpangan akidah wahhabi dari akidah ulama salaf shaleh yang sesungguhnya.

Semoga wahhabi dan para korban doktrin wahhabi mau merenungi hal ini, buka hati kalian, tundukkan sayap kesombongan kalian, mohonlah petunjuk kepada-Nya yang menciptakan petunjuk kebenaran, semoga data dan bukti ini mampu membuka kesadaran hati kalian untuk memikirkan kembali ajaran yang selama ini kalian pegang dan taqlidi...semoga sedikit mmebuka pencerahan untuk kalian, dan semoga Allah memberi petunjuk kebenaran untuk aku dan kalian..

Ibnu Utsaimin (salah satu ulama wahabi dan anggota fatwa Saudi) mengatakan dalam kitab Syarh Aqidah Thahawiyyahnya berikut :


" Sesungguhnya tidak mungkin terjadi kontradiksi antara al-Quran dan Hadits Nabi yang sah selamanya. Karena Quran dan Hadits adalah Haq / Kebenaran dan Kebenaran tidak akan terjadi Kontradiksi, karena semua dari Allah sedangkan apa yang dari Allah tidak akan terjadi kontradiksi..." (Syarh Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Ustaimin : 89)

Komenyat Shofiyyah : Saya setuju dalam hal ini dengan Ibnu Utsaimin, mungkin leih saya perjelas yaitu bahwa Akidah Islam tidak akan terjadi kontradiksi di manapun dan kapanpun, karena ini menyangkut masalah yang prinsipil di mana setiap muslim akidahnya harus sama tidak boleh berbeda atu pun berselisih. Jika berselisih, jelas yang menyelisihi itu yang salah. Sedangkan dalam masalah Furu' (bukan akidah) maka Allah mentolerir adanya perpedaan pendapat. Sebab di masa sahabat nabi pun banyak terjadi perbedaan pendapat, dan hal ini adalah rahmat bagi umat Islam sendiri.

Oke, sekarang kita masuk kepada pembuktian hal ini. Jika Akidah Wahhabi-salafi itu benar sesuai ajaran Nabi dan para sahabatnya, maka mustahil terjadi kontradiksi karna KEBENARAN tidak akan kontradiksi. Namun ternyata, ironis dan na'as sekali, saya menemukan ada sekitar 100 lebih kontradiksi wahabi dalam akidah di antara kalangan mereka sendiri. Yang jika saya beberkan semuanya niscaya dan pasti wahabi akan bingung mana yang benar dan mana yang salah. Mungkinkah akidah Nabi itu kontardiksi?? mungkinkah al-Quran itu isisnya saling kontradiksi?? Jawabannya : Tidak sama sekali. Tapi pemikiran merekalah yang sesat lagi menyesatkan. 

Kita buktikan :

Syaikh Shaleh al-Fauzan menyatakan bahwa hadits Allah itu duduk bersama Nabi Muhammad di Arsy itu sahih meskipun sulit untuk diindra. Artinya ia setuju dengan akidah yang menafsirkan ISTAWA dengan JALASA (duduk). Lihat kitab Ta'liq al-Mukhtashar 'ala Qashidah an-Nuuniyyah halaman 453 ketika ia menta'liq qasidah Ibnul Qayyim berikut :
Cover kitab :



Arti yang bergaris merah :

Sesungguhnya Allah mendudukkan Muhammad bersama di atas Arsy....Ini adalah hadits sahih walaupun sulit untuk dipikirakan sifat duduknya, maka tidaklah mengapa. (Ta'liq al-Mukhtashar 'ala Qashidah an-Nuuniyyah halaman 453).

Dalam kitab yang lainnya, Shaleh al-Fauzan mengatakan :

Cover kitab :




" Ar-Rahman beristiwa di atas Arsy " Apakah beristiwa itu bukan bermakna duduk ?? tidaklah beristiwa melainkan duduk. Ini ucapan (istiwa adalah bermakna duduk) adalah sahih tidak ada debu sedikit pun (sangat jelas) ". (Qudum kitab al-Jihad, karya syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi dan ditaqliq Shaleh al-Fauzan halaman : 101) 

Dalam kitab ini, syaikh Abdul Aziz dan Syaikh Shaleh al-Fauzan sepakat bahwa ISTIWA itu bermakna DUDUK. 

Tapi, sekali lagi, tapi......
Di kitabnya yang lain justru Shaleh al-Fauzan menyatakan bahwa tafsir ISTIWA dengan DUDUK adalah TAFSIR YANG BATHIL...perhatikan :

Cover kitab :



" Apakah Istawa bermakna Jalasa / Duduk itu termasuk takwil ? Shaleh al-Fauzan menjawab : " Ini Bathil, karena tidak ada sama sekali riwayat yang menafsirkan ISTAWA dengan JALASA (duduk) dan kami tidak mentetapkan sesuatu pun tentang Istawa ". (Lum'ah al-I'tiqad : 315)

Lihat pembaca, bagaimana syaikh Shaleh al-Fauzan yang diawal mengakui ISTAWA dengan makna JALASA (DUDUK), tapi di kitabnya yang lainj justru dia mengatakan memaknai ISTIWA dengan JULUS (DUDUK) adalah BATHIL. Subhanallah, bagaimana bisa satu pemahaman saling kontradiksi dari satu orang saja ?? apakah syaikh ibn Fauzan ini ketika berfatwa atau berpendapat tidak berpikir secara jernih atau sedang mabuk ?? saya yakin para pengikut syaikh Shaleh al-Fauzan ini dibuat bingung dengan ke plin-planan akidahnya.

Di sisi lain, ada ulama wahabi lainnya yang juga menyatakn bahwa hadits yang menunjukkan Allah JALASA / DUDUK di Arsy adalah maudhu' / palsu dan kedsutaan atas nama Nabi Saw. Yaitu syaik Albani seorang syaikh yang diklaim wahabi sbgai ahli hadits zaman skrg (padahal saya meneliti bnyak sekali mufradat / kosakata yang diartikan salah oleh Albani dalam bebrapa kitabnya ketika mengartikan sebuah isim yang gharib, suatu saat saya akan membahasnya). Perhatikan pendapat Albani berikut :

" Yang jelas, bahwasanya perhatikan dalam matannya dari kemungkaran yang ada, yaitu menisbatkan JULUS / DUDUK kepada Allah....Matan hadits itu mengandung KEPALSUAN ". (Maushu'ah al-Allamah al-Imam Mujaddid al-Ashr: Albani : 343).

Perhatikan wahai pembaca khususnya para wahabi-salafi, lihat ulama kalian saling bertolak belakang dalam masalah akidah yang merupakan pondasi Islam dan amal !! apakah AKIDAH ISLAM itu kontradiksi menurut kalian ?? Mana yang benar?? kenapa terjadi kontradiksi di kalangan wahabi sendiri dalam masalah akidah ??

Benar ucapan Ibnu Utsamin di awal bahwa " Sesungguhnya tidak mungkin terjadi kontradiksi antara al-Quran dan Hadits Nabi yang sah selamanya. Karena Quran dan Hadits adalah Haq / Kebenaran dan Kebenaran tidak akan terjadi Kontradiksi, karena semua dari Allah sedangkan apa yang dari Allah tidak akan terjadi kontradiksi..." (Syarh Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Ustaimin : 89)

Maka dengan ucapan ini, benar lah bahwa akidah wahhabi-salafi tidaklah benar karena saling kontradiksi dan bertolak belakang di antara mereka sendiri. Ini satu contoh yang baru saya tampilkan, masih ada seratus konradiksi lainnya yang saya simpan di dokumen saya. Terlebih masalah furu' / fiqih sangat banyak kontradiksi di antara mereka, bagi saya wajar kalau masalah furu' itu ada perbedaan pendapat, tapi angat tidak wajar dan tidak benar jika perbedaan pendapat itu dibumbui kata-kata membid'ahkan dan menyesatkan bahkan kata-kata binatang sesama kalangan mereka sendiri...

Inikah menurut kalian kebenaran itu ???


By : Shofiyyah An-Nuuriyyah
05-02-2013




















Minggu, 24 Februari 2013

Menjawab bantahan anti takwil tentang riwayat takwil imam Ahmad bin Hanbal bag II


Bagian kedua ini, saya akan tunjukkan kepada pembaca beberapa kecurangan dan tipu muslihat serta penipuan para penolak riwayat takwil imam Ahmad bin Hanbal yang mereka lakukan ketika berhujjah untuk menolak takwil imam Ahmad melalui riwayat Hanbal. Dan saya berlindung kepada Allah dari sikap tipu muslihat mereka tersebut.

Wahabi telah berani memanipulasi ucapan Ibnu Rajab al-Hanbali dan tidak amanat di dalam menampilkan redaksi yang sepotong-potong, tidak ditampilkannya secara utuh.

Dan inilah yang menjadi korban manipulasi wahabi dalam beberapa ucapan Ibnu Rajab seperti yang akan pembaca ketahui dengan jelas dan terang setelah ini.

a. Dalam artikel Abul Jauza yang dia menukilnya dari situs-situ para penentang takwil, mengatakan :

Ibnu Rajab rahimahullah menukil adanya perselisihan pendapat dalam menyikapi tafarrud Hanbal bin Ishaaq (saat membahas permasalahan pakaian dalam shalat) :

وهذه رواية مشكلة جدا، ولم يروها عن أحمد غير حنبل ، وهو ثقة إلا أنه يهم أحيانا ، وقد اختلف متقدمو الأصحاب فيما تفرد به حنبل عن أحمد : هل تثبت به رواية أم لا

“Riwayat ini sangatlah musykil. Tidak ada yang meriwayatkanya dari Ahmad selain Hanbal. Ia seorang yang tsiqah, hanya saja ia kadang mengalami wahm. Para ulama madzhab Hanaabilah terdahulu berbeda pendapat tentang riwayat yang Hanbal bertafarrud (bersendirian) dari Ahmad : Apakah riwayat tersebut tsabt ataukah tidak[2]” [Fathul-Baariy, 3/267]. Mungkin maksudnya juz 2 halaman 367..

Saya jawab :

Bagi pembaca yang membaca potongan ucapan Ibnu Rajab ini, pasti akan menyangka bahwa riwayat itu musykil dan adanya perselisihan pendapat dalam menyikapi tafarrud Hanbal bin Ishaq.

Pertama : Abul Jauza dan wahabi lainnya yang anti takwil telah menipu pembaca, karena kemusykilan yang dimaksud Ibnu Rajab pada redaksi di atas adalah kemusykilan riwayat Hanbal dalam bab shalat bukan bab takwil, meskipun Abul Jauza di akhir menulis embel-embel “(saat membahas permasalahan pakaian dalam shalat)”, tetap itu bentuk kesengajaan untuk menggiring pembaca pada apa yang dimauinya. Dalam hal ini sudah saya bahas pada artikel saya yang pertama.

Kedua : Abul Jauza telah menipu pembaca dengan tidak menampilkan ucapan Ibnu Rajab selanjutnya yang merupakan kesimpulan dari Ibnu Rajab sendiri.

Seolah terhenti sampai di situ saja dan memaksakan kesan seolah perselisihan itu tidak ada sikap selanjutnya dalam madzhab hanbali. Berikut redaksi lengkapnya yang tidak ditampilkan Abul Jauza dan para penentang takwil lainnya :

ولكن اعتمد الأصحاب على هذه الرواية ، ثم اختلفوا في معناها : فقال القاضي أبو يعلى ومن اتبعه: من وجد ما يستر به منكبيه أو عورته ولا يكفي إلا أحدهما فإنه يستر عورته ، ويصلي جالسا.

“ Akan tetapi para ulama Hanabilah memegang kuat riwayat tersebut, kemudian berbeda pendapat tentang maknanya; Al-Qadhi Abu Ya’la dan ulam yang mengikutinya berkata “ Orang yang menukan pakaian yang menutup kedua pundak atau auratnya akan tetapi tidak mencukupi salah satunya, maka ia gunakan untuk menutupi auratnya saja dan sholat dengan cara duduk. " (Fathul Bari, Ibnu Rajab juz II halaman : 367-368 cetakan kedua, Dar Ibnul Jauzi 1422 H dengan Tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin ‘Iwadillah bin Muhammad)

Dalam komentar Ibnu Rajab selanjutnya ini sangatlah jelas, bahwa para ashab hanabilah (ulama hanbali) menerima riwayat tersebut (bukan menolaknya). Artinya para ashab hanabilah menerima riwayat tafarrud Hanbal dalam bab shalat ini, mereka tidak menolaknya. Namun oleh wahabi redaksi ini tidak ditampilkannya untuk menyembunyikan fakta kebenarannya. Inilah penipuan yang sangat nyata dari mereka. Naudzu billahi min dzaalik..

b. Abul Jauza mengatakan dan diikuti oleh Muhammad Anshorullah yang semuanya itu dinukil dari artikel di situs2 penenteng takwil :

 Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :

وخرجوا عن أحمد من رواية حنبل عنه في قوله تعالى : { وجاء ربك } أن المراد : وجاء أمر ربك . وقال ابن حامد : رأيت بعض أصحابنا حكى عن أبي عبد الله الإتيان ، أنه قال : تأتي قدرته ، قال : وهذا على حدَّ التوهم من قائله ، وخطأ في إضافته إليه

"Dan mereka mengeluarkan riwayat dari Ahmad, yang berasal dari periwayatan Hanbal (bin Ishaaq) darinya, tentang firman-Nya ta’ala : ‘'Dan telah datang tuhan-Mu' (QS. Al-Fajr : 22), bahwasannya yang dimaksudkan adalah : ‘Dan telah datang ketetapan dari Rabbmu’. Telah berkata Ibnu Haamid : 'Aku melihat sebagian shahabat kami (yaitu ulama Hanaabilah) menghikayatkan dari Abu 'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang sifat al-ityaan (kedatangan), ia berkata : 'datang kekuasaan-Nya'. Ibnu Haamid berkata : 'Ini adalah wahm dari orang yang mengatakannya (yaitu perawinya) dan kekeliruan dalam penyandaran terhadap Ahmad bin Hanbal" [Fathul-Baariy, 9/279].

Dengan bukti adanya ta’arudl dan pengingkaran sebagian ulama muhaqqiqiin terhadap riwayat ghariib Hanbal di atas, maka bukan tidak mungkin Hanbal telah keliru dalam membawakan riwayat, sehingga riwayat tersebut munkar. Bahkan inilah yang benar, wallaahu a’lam.

Lantas, manakah bukti valid Wahabi telah melakukan penipuan dan kecurangan ?. Apakah anggapan kecurangan dan penipuan itu hanyalah disebabkan kurang bisa mencerna bahasan ?.

Selain itu, dapat kita lihat bahwa yang menta’lil riwayat Hanbal itu adalah para ulama yang hidup ratusan tahun sebelum Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab At-Tamiimiy rahimahullah. Wahabi-kah mereka ?
Wallaahul-musta’aan.

Saya jawab :

Lagi-lagi Abul Jauza dan wahabi lainnya tidak amanat di dalam menukil redaksi Ibnu Rajab tersebut, mereka tidak menukilnya secara utuh dan lengkap. Mungkin ini sudah menjadi kebiasaan mereka atau memang tidak bisa mencerna bahasan (ahdaatsul asnaan sufahaaul ahlaam)??

Berikut redaksi utuhnya yang mereka potong-potong 
:
أهل الحديث في النزول على ثلاث فرق : فرقة منهم ، تجعل النزول من الأفعال الاختيارية التي يفعلها الله بمشيئته وقدرته ، وهو المروي عن ابن المبارك ونعيم بن حماد وإسحاق بن راهويه وعثمان الدارمي . وهو قول طائفة من أصحابنا ، ومنهم : من يصرح بلوازم ذلك من إثبات الحركة . وقد صنف بعض المحدثين المتأخرين من أصحابنا مصنفاً في إثبات ذلك ، ورواه عن الامام أحمد من وجوه كلها ضعيفة ، لا يثبت عنه منها شيء . وهؤلاء ؛ منهم من يقول : ينزل بذاته ، كابن حامد من أصحابنا . وقد كان الحافظ إسماعيل من التميمي الأصبهاني الشافعي يقول بذلك ، وجرى بينه وبين طائفة من أهل الحديث بسببه فتنة وخصام . قال الحافظ أبو موسى المديني : كان من اعتقاد الإمام إسماعيل أن نزول الله تعالى بالذات ، وهو مشهور من مذهبه ؛ لكنه تكلم في حديث نعيم بن حماد الذي رواه بإسناده في النزول بالذات . قالَ : وهو إسناد مدخول ، وفيه مقال ، وفي بعض رواته مطعن ، ولا تقع بمثله الحجة ، فلا يجوز نسبة قوله إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – .

والفرقة الثانية : تقول : إن النزول إنما هوَ نزول الرحمة . ومنهم من يقول : هوَ إقبال الله على عباده ، وإفاضة الرحمة والإحسان عليهم . ولكن ؛ يرد ذَلِكَ : تخصيصه بالسماء الدنيا ، وهذا نوع من التأويل لأحاديث الصفات . وقد مال إليه في حديث النزول خاصة طائفة من أهل الحديث ، منهم : ابن قتيبة والخطابي وابن عبد البر . وقد تقدم عن مالك ، وفي صحته عنه نظر . وقد ذهب إليه طائفة ممن يميل إلى الكلام من أصحابنا ، وخرجوه عن أحمد من رواية حنبل عنه في قوله تعالى : { وَجَاءَ رَبُّكَ } [الفجر: 22] ، أن المراد : وجاء أمر ربك . وقال ابن حامد : رأيت بعض أصحابنا حكى عن أبي عبد الله في الإتيان ، أنه قال : تأتي قدرته . قال : وهذا على حد الوهم من قائله ، وخطأ في إضافته إليه . وقد روي فيه حديث موضوع : (( إن نزول الله تعالى إقبال على الشيء من غير نزول )) . وذكره ابن الجوزي في (( الموضوعات )) . قلت :وهذا الحديث مقابل لحديث نعيم بن حماد الذي رواه في النزول بالذات. وكلاهما باطل ، ولا يصح .

“ Ahli hadits dalam menyikapi sifat nuzul Allah terbagi menjadi tiga kelompok : kelompok pertama menjadikan sifat nuzul itu termasuk af’al ikhtiyariyyah yang Allah lakukan sekehendak-Nya. Ini diriwayatkan dari Ibnu al-Mubarak, Nu’aim bin Hammad, Ishaq bin Rahawih dan Utsman ad-Darimi, dan ini juga pendapat sebagian ashab kami. Di antara kelompok ini ada yang terang-terangan adanya kelaziman itu berupa penetapan sifat bergerak. Sebagian ahli hadits muta’akhir dari ashab kami menulis beberapa karya di dalam menetapkan hal itu. Dan meriwayatkannya dari imam Ahmad dari beberapa sudut yang keseluruhannya adalah dhaif sedikitpun tidak ada yang tsabit darinya. Dan dari mereka ada yang berpendapat bahwa Allah turun dengan dzat-Nya seprti Ibnu Hamid dari ashab kami. Dan juga al-Hafidz Ismail at-Tamimi al-Ashbihani asy-Syafi’I mengatakan hal yang sama sehingga terjadi fitnah dan perseteruan dengan ahli hadits lainnya. Abu Musa al-Madini berkata : “ Konon di antara I’tiqad imam Ismail meyakini turunnya Allah dengan Dzat-Nya dan ini masyhur dari madzhabnya (pemikirannya), akan tetapi ia mempermasalahkan hadits Nu’aim bin Hammad yang ia riwayatkan dengan isnadanya tentangng sifat turunnya Allah dengan Dzat, Ia (Ismail) berkata : “ Dalam isnadnya ada madkhul dan permasalahan sebagian rowinya dipermasalahkan, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan tidak boleh menisbatkannya kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam “..

Kelompok kedua mengatakan sesungguhnya sifat nuzul Allah yang dimaksud adalah sifat nuzul rahmat-Nya. Di antara mereka ada yang mengataka : “ Itu adalah penghadapan Allah kepada hamba-Nya serta curahan rahmat dan ihsan kepada hamba-Nya. Akan tetapi ia menolak pengkhususan di langit dunia saja. Ini adalah satu macam dari takwil terhadap ayat-ayat shifat. Sungguh telah condong kepada hal ini sekelompok dari ahli hadits di antaranya : Ibnu Qutaibah, al-Khtathabi dan Ibnu Abdil Bar. Dan telah berlalu juga dari imam Malik dan kesahihannya darinya masih perlu diteliti. Dan sungguh sebagian ashab kami dari kalangan ahli kalam condong terhadap hal ini, dan mereka telah mentakhrij dari imam Ahmad melalui riwayat Hanbal tentang firman Allah Ta’aala : “ Dan telah datang Tuhanmu “, (al-Fajr : 22) bahwa yang dimaksud adalah “ Telah datang perintah Tuhanmu “. Ibnu Hamid berkata : “ Aku melihat sebagian ashab kami meriwayatkan dari imam Ahmad tentang sifat datangnya Allah bahwasanya beliau mentakwilnya : dengan datang kekuasaan Allah, ia berkata “ Ini hanyalah sekedar tawahhum / dugaan dari pengucapnya, dan suatu kesalahan di dalam menisbatkan ucapan itu kepadanya “. Dan sunggguh telah diriwayatkan hadits maudhu’ tentangnya. Ibnu al-jauzi menyebutkannya di dalam madhuu’aat. Aku (Ibnu Rajab) katakan : “ Hadits ini sama dengan hadits Nu’aim bin Hammad yang ia riwayatkannya di dalam sifat turunnya Allah dengan Dzat, dan keduanya adalah bathil tidak sah “. (Selesai, walaupun sebenarnya masih panjang pembhasan beliau)

Pertama : Di sini sangat jelas, posisi Ibnu Rajab sedang menukil pendapat-pendapat para ulama terutama hanabilah tentang hadits nuzul Allah. Dan beliau juga menyebutkan beberapa kelompok hanabilah dalam hal ini. Jika kita lihat nukilan beliau di atas, maka dapat kita pahami bahwa beliau menolak keras kelompok yang berpendapat bahwa Allah turun ke langit dunia dengan Dzat-Nya, beliau mengatakan hadits tersebut palsu, padahal wahabi ada yang beraqidahkan seperti ini.

Kedua : Ibnu Rajab menjelaskan beberapa kelompok dari para ulama terutama hanabilah yang juga melakukan takwil terhadap sebagian ayat shifat, dan beliau sama sekali tidak mencelanya. Ini bukti bahwa dalam madzhab Hanbali takwil juga diterapkan. Tidak seperti sangkaan wahabi, saya nanti akan menyebutkan puluhan ulama hanabilah yang melakukan takwil yang tersebut dalam kitab-kitab mereka (hanabilah).

Ketiga : Dari nukilan riwayat Hanbal tentang imam Ahmad mentakwil “ Telah datang Tuhanmu “ dengan “ Telah datang perintah Tuhanmu “, beliau Ibnu Rajab sama sekali tidak menolak ucapan Hanbal bin ishaq bahkan tidak melemahkan riwayat tersebut. Coba perhatikan lagi :

“ Dan sungguh sebagian ashab kami dari kalangan ahli kalam condong terhadap hal ini, dan mereka telah mentakhrij dari imam Ahmad melalui riwayat Hanbal tentang firman Allah Ta’aala : “ Dan telah datang Tuhanmu “, (QS. al-Fajr : 22) bahwa yang dimaksud adalah “ Telah datang perintah Tuhanmu “.
Adakah setelahnya Ibnu Rajab menolak riwayat ini ? dan mendhaifkan riwayat tersebut seperti sangkaan wahabi yang membabi buta ?? jawabannya : Tidak, wahabilah yang telah berdusta.

Keempat : Yang ditolak dan dikritiki oleh Ibnu Hamid adalah riwayat berikut yang dinukil Ibnu Rajab setelahnya yaitu takwil “ Telah datang perintah Tuhanmu “. Coba renungkan dan perhatikan lagi :

Ibnu Hamid berkata : “ Aku melihat sebagian ashab kami meriwayatkan dari imam Ahmad tentang isfat datangnya Allah bahwasanya beliau mentakwilnya : dengan datang kekuasaan Allah, ia berkata “ Ini hanyalah sekedar tawahhum / dugaan dari pengucapnya, dan suatu kesalahan di dalam menisbatkan ucapan itu kepadanya “.

Sedangkan yang disahihkan imam Baihaqi sehingga dikatakan sanadnya sangat bersih “ Laa ghubaara ‘alaih “ dan dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Katisr adalah bukan riwayat tersebut, melainkan riwayat yang berbunyi : “ Telah datang pahala Tuhanmu “. Sangat berbeda dengan riwayat di atas. Maka dari penjelasan Ibnu Rajab dan Ibnu Katsir ada beberapa riwayat takwil dari imam Ahmad berkaitan sifat nuzulnya Allah berikut :

Ada riwayat takwil yang menyebutkan “ Telah datang perintah Tuhanmu “, ada riwayat takwil yang menyebutkan “ Telah datang kekuasaan Tuhanmu “ dan terakhir riwayat dari imam Baihaqi yaitu “ Telah datang pahala Tuhanmu “. Dan yang didhaifkan oleh Ibnu Hamid adalah riwayat yang kedua bukan yang pertama apalagi yang ketiga yang sanadnya bersih tidak ada cacatnya.   

Maka hujjah wahabi yang mengtakan bahwa Ibnu Rajab mendhaifkan riwayat takwil imam Ahmad yang diriwayatkan imam Baihaqi adalah mengada-ngada dan menipu atas nama Ibnu Rajab. Dan dari penjelasan di atas, tidak terbukti sama sekali Ibnu Rajab melemahkan riwayat takwil imam Ahmad melalui Hanbal. Beginikah cara berhujjah wahabi ??

Bersambung ke bagian III, saya akan mengupas kalam adz-Dzhahabi tentang gharib yang dijadikan hujjah oleh wahabi (anti takwil), dan mengurai sejarah konflik dalam madzhab Hanbali serta menyebutkan takwil-takwil yang dilakukan puluhan ulama Hanabilah.


 Salam :

Shofiyyah An-Nuuriyyah, 24-02-2013