Minggu, 24 Februari 2013

Menjawab bantahan anti takwil tentang riwayat takwil imam Ahmad bin Hanbal bag II


Bagian kedua ini, saya akan tunjukkan kepada pembaca beberapa kecurangan dan tipu muslihat serta penipuan para penolak riwayat takwil imam Ahmad bin Hanbal yang mereka lakukan ketika berhujjah untuk menolak takwil imam Ahmad melalui riwayat Hanbal. Dan saya berlindung kepada Allah dari sikap tipu muslihat mereka tersebut.

Wahabi telah berani memanipulasi ucapan Ibnu Rajab al-Hanbali dan tidak amanat di dalam menampilkan redaksi yang sepotong-potong, tidak ditampilkannya secara utuh.

Dan inilah yang menjadi korban manipulasi wahabi dalam beberapa ucapan Ibnu Rajab seperti yang akan pembaca ketahui dengan jelas dan terang setelah ini.

a. Dalam artikel Abul Jauza yang dia menukilnya dari situs-situ para penentang takwil, mengatakan :

Ibnu Rajab rahimahullah menukil adanya perselisihan pendapat dalam menyikapi tafarrud Hanbal bin Ishaaq (saat membahas permasalahan pakaian dalam shalat) :

وهذه رواية مشكلة جدا، ولم يروها عن أحمد غير حنبل ، وهو ثقة إلا أنه يهم أحيانا ، وقد اختلف متقدمو الأصحاب فيما تفرد به حنبل عن أحمد : هل تثبت به رواية أم لا

“Riwayat ini sangatlah musykil. Tidak ada yang meriwayatkanya dari Ahmad selain Hanbal. Ia seorang yang tsiqah, hanya saja ia kadang mengalami wahm. Para ulama madzhab Hanaabilah terdahulu berbeda pendapat tentang riwayat yang Hanbal bertafarrud (bersendirian) dari Ahmad : Apakah riwayat tersebut tsabt ataukah tidak[2]” [Fathul-Baariy, 3/267]. Mungkin maksudnya juz 2 halaman 367..

Saya jawab :

Bagi pembaca yang membaca potongan ucapan Ibnu Rajab ini, pasti akan menyangka bahwa riwayat itu musykil dan adanya perselisihan pendapat dalam menyikapi tafarrud Hanbal bin Ishaq.

Pertama : Abul Jauza dan wahabi lainnya yang anti takwil telah menipu pembaca, karena kemusykilan yang dimaksud Ibnu Rajab pada redaksi di atas adalah kemusykilan riwayat Hanbal dalam bab shalat bukan bab takwil, meskipun Abul Jauza di akhir menulis embel-embel “(saat membahas permasalahan pakaian dalam shalat)”, tetap itu bentuk kesengajaan untuk menggiring pembaca pada apa yang dimauinya. Dalam hal ini sudah saya bahas pada artikel saya yang pertama.

Kedua : Abul Jauza telah menipu pembaca dengan tidak menampilkan ucapan Ibnu Rajab selanjutnya yang merupakan kesimpulan dari Ibnu Rajab sendiri.

Seolah terhenti sampai di situ saja dan memaksakan kesan seolah perselisihan itu tidak ada sikap selanjutnya dalam madzhab hanbali. Berikut redaksi lengkapnya yang tidak ditampilkan Abul Jauza dan para penentang takwil lainnya :

ولكن اعتمد الأصحاب على هذه الرواية ، ثم اختلفوا في معناها : فقال القاضي أبو يعلى ومن اتبعه: من وجد ما يستر به منكبيه أو عورته ولا يكفي إلا أحدهما فإنه يستر عورته ، ويصلي جالسا.

“ Akan tetapi para ulama Hanabilah memegang kuat riwayat tersebut, kemudian berbeda pendapat tentang maknanya; Al-Qadhi Abu Ya’la dan ulam yang mengikutinya berkata “ Orang yang menukan pakaian yang menutup kedua pundak atau auratnya akan tetapi tidak mencukupi salah satunya, maka ia gunakan untuk menutupi auratnya saja dan sholat dengan cara duduk. " (Fathul Bari, Ibnu Rajab juz II halaman : 367-368 cetakan kedua, Dar Ibnul Jauzi 1422 H dengan Tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin ‘Iwadillah bin Muhammad)

Dalam komentar Ibnu Rajab selanjutnya ini sangatlah jelas, bahwa para ashab hanabilah (ulama hanbali) menerima riwayat tersebut (bukan menolaknya). Artinya para ashab hanabilah menerima riwayat tafarrud Hanbal dalam bab shalat ini, mereka tidak menolaknya. Namun oleh wahabi redaksi ini tidak ditampilkannya untuk menyembunyikan fakta kebenarannya. Inilah penipuan yang sangat nyata dari mereka. Naudzu billahi min dzaalik..

b. Abul Jauza mengatakan dan diikuti oleh Muhammad Anshorullah yang semuanya itu dinukil dari artikel di situs2 penenteng takwil :

 Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :

وخرجوا عن أحمد من رواية حنبل عنه في قوله تعالى : { وجاء ربك } أن المراد : وجاء أمر ربك . وقال ابن حامد : رأيت بعض أصحابنا حكى عن أبي عبد الله الإتيان ، أنه قال : تأتي قدرته ، قال : وهذا على حدَّ التوهم من قائله ، وخطأ في إضافته إليه

"Dan mereka mengeluarkan riwayat dari Ahmad, yang berasal dari periwayatan Hanbal (bin Ishaaq) darinya, tentang firman-Nya ta’ala : ‘'Dan telah datang tuhan-Mu' (QS. Al-Fajr : 22), bahwasannya yang dimaksudkan adalah : ‘Dan telah datang ketetapan dari Rabbmu’. Telah berkata Ibnu Haamid : 'Aku melihat sebagian shahabat kami (yaitu ulama Hanaabilah) menghikayatkan dari Abu 'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang sifat al-ityaan (kedatangan), ia berkata : 'datang kekuasaan-Nya'. Ibnu Haamid berkata : 'Ini adalah wahm dari orang yang mengatakannya (yaitu perawinya) dan kekeliruan dalam penyandaran terhadap Ahmad bin Hanbal" [Fathul-Baariy, 9/279].

Dengan bukti adanya ta’arudl dan pengingkaran sebagian ulama muhaqqiqiin terhadap riwayat ghariib Hanbal di atas, maka bukan tidak mungkin Hanbal telah keliru dalam membawakan riwayat, sehingga riwayat tersebut munkar. Bahkan inilah yang benar, wallaahu a’lam.

Lantas, manakah bukti valid Wahabi telah melakukan penipuan dan kecurangan ?. Apakah anggapan kecurangan dan penipuan itu hanyalah disebabkan kurang bisa mencerna bahasan ?.

Selain itu, dapat kita lihat bahwa yang menta’lil riwayat Hanbal itu adalah para ulama yang hidup ratusan tahun sebelum Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab At-Tamiimiy rahimahullah. Wahabi-kah mereka ?
Wallaahul-musta’aan.

Saya jawab :

Lagi-lagi Abul Jauza dan wahabi lainnya tidak amanat di dalam menukil redaksi Ibnu Rajab tersebut, mereka tidak menukilnya secara utuh dan lengkap. Mungkin ini sudah menjadi kebiasaan mereka atau memang tidak bisa mencerna bahasan (ahdaatsul asnaan sufahaaul ahlaam)??

Berikut redaksi utuhnya yang mereka potong-potong 
:
أهل الحديث في النزول على ثلاث فرق : فرقة منهم ، تجعل النزول من الأفعال الاختيارية التي يفعلها الله بمشيئته وقدرته ، وهو المروي عن ابن المبارك ونعيم بن حماد وإسحاق بن راهويه وعثمان الدارمي . وهو قول طائفة من أصحابنا ، ومنهم : من يصرح بلوازم ذلك من إثبات الحركة . وقد صنف بعض المحدثين المتأخرين من أصحابنا مصنفاً في إثبات ذلك ، ورواه عن الامام أحمد من وجوه كلها ضعيفة ، لا يثبت عنه منها شيء . وهؤلاء ؛ منهم من يقول : ينزل بذاته ، كابن حامد من أصحابنا . وقد كان الحافظ إسماعيل من التميمي الأصبهاني الشافعي يقول بذلك ، وجرى بينه وبين طائفة من أهل الحديث بسببه فتنة وخصام . قال الحافظ أبو موسى المديني : كان من اعتقاد الإمام إسماعيل أن نزول الله تعالى بالذات ، وهو مشهور من مذهبه ؛ لكنه تكلم في حديث نعيم بن حماد الذي رواه بإسناده في النزول بالذات . قالَ : وهو إسناد مدخول ، وفيه مقال ، وفي بعض رواته مطعن ، ولا تقع بمثله الحجة ، فلا يجوز نسبة قوله إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – .

والفرقة الثانية : تقول : إن النزول إنما هوَ نزول الرحمة . ومنهم من يقول : هوَ إقبال الله على عباده ، وإفاضة الرحمة والإحسان عليهم . ولكن ؛ يرد ذَلِكَ : تخصيصه بالسماء الدنيا ، وهذا نوع من التأويل لأحاديث الصفات . وقد مال إليه في حديث النزول خاصة طائفة من أهل الحديث ، منهم : ابن قتيبة والخطابي وابن عبد البر . وقد تقدم عن مالك ، وفي صحته عنه نظر . وقد ذهب إليه طائفة ممن يميل إلى الكلام من أصحابنا ، وخرجوه عن أحمد من رواية حنبل عنه في قوله تعالى : { وَجَاءَ رَبُّكَ } [الفجر: 22] ، أن المراد : وجاء أمر ربك . وقال ابن حامد : رأيت بعض أصحابنا حكى عن أبي عبد الله في الإتيان ، أنه قال : تأتي قدرته . قال : وهذا على حد الوهم من قائله ، وخطأ في إضافته إليه . وقد روي فيه حديث موضوع : (( إن نزول الله تعالى إقبال على الشيء من غير نزول )) . وذكره ابن الجوزي في (( الموضوعات )) . قلت :وهذا الحديث مقابل لحديث نعيم بن حماد الذي رواه في النزول بالذات. وكلاهما باطل ، ولا يصح .

“ Ahli hadits dalam menyikapi sifat nuzul Allah terbagi menjadi tiga kelompok : kelompok pertama menjadikan sifat nuzul itu termasuk af’al ikhtiyariyyah yang Allah lakukan sekehendak-Nya. Ini diriwayatkan dari Ibnu al-Mubarak, Nu’aim bin Hammad, Ishaq bin Rahawih dan Utsman ad-Darimi, dan ini juga pendapat sebagian ashab kami. Di antara kelompok ini ada yang terang-terangan adanya kelaziman itu berupa penetapan sifat bergerak. Sebagian ahli hadits muta’akhir dari ashab kami menulis beberapa karya di dalam menetapkan hal itu. Dan meriwayatkannya dari imam Ahmad dari beberapa sudut yang keseluruhannya adalah dhaif sedikitpun tidak ada yang tsabit darinya. Dan dari mereka ada yang berpendapat bahwa Allah turun dengan dzat-Nya seprti Ibnu Hamid dari ashab kami. Dan juga al-Hafidz Ismail at-Tamimi al-Ashbihani asy-Syafi’I mengatakan hal yang sama sehingga terjadi fitnah dan perseteruan dengan ahli hadits lainnya. Abu Musa al-Madini berkata : “ Konon di antara I’tiqad imam Ismail meyakini turunnya Allah dengan Dzat-Nya dan ini masyhur dari madzhabnya (pemikirannya), akan tetapi ia mempermasalahkan hadits Nu’aim bin Hammad yang ia riwayatkan dengan isnadanya tentangng sifat turunnya Allah dengan Dzat, Ia (Ismail) berkata : “ Dalam isnadnya ada madkhul dan permasalahan sebagian rowinya dipermasalahkan, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan tidak boleh menisbatkannya kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam “..

Kelompok kedua mengatakan sesungguhnya sifat nuzul Allah yang dimaksud adalah sifat nuzul rahmat-Nya. Di antara mereka ada yang mengataka : “ Itu adalah penghadapan Allah kepada hamba-Nya serta curahan rahmat dan ihsan kepada hamba-Nya. Akan tetapi ia menolak pengkhususan di langit dunia saja. Ini adalah satu macam dari takwil terhadap ayat-ayat shifat. Sungguh telah condong kepada hal ini sekelompok dari ahli hadits di antaranya : Ibnu Qutaibah, al-Khtathabi dan Ibnu Abdil Bar. Dan telah berlalu juga dari imam Malik dan kesahihannya darinya masih perlu diteliti. Dan sungguh sebagian ashab kami dari kalangan ahli kalam condong terhadap hal ini, dan mereka telah mentakhrij dari imam Ahmad melalui riwayat Hanbal tentang firman Allah Ta’aala : “ Dan telah datang Tuhanmu “, (al-Fajr : 22) bahwa yang dimaksud adalah “ Telah datang perintah Tuhanmu “. Ibnu Hamid berkata : “ Aku melihat sebagian ashab kami meriwayatkan dari imam Ahmad tentang sifat datangnya Allah bahwasanya beliau mentakwilnya : dengan datang kekuasaan Allah, ia berkata “ Ini hanyalah sekedar tawahhum / dugaan dari pengucapnya, dan suatu kesalahan di dalam menisbatkan ucapan itu kepadanya “. Dan sunggguh telah diriwayatkan hadits maudhu’ tentangnya. Ibnu al-jauzi menyebutkannya di dalam madhuu’aat. Aku (Ibnu Rajab) katakan : “ Hadits ini sama dengan hadits Nu’aim bin Hammad yang ia riwayatkannya di dalam sifat turunnya Allah dengan Dzat, dan keduanya adalah bathil tidak sah “. (Selesai, walaupun sebenarnya masih panjang pembhasan beliau)

Pertama : Di sini sangat jelas, posisi Ibnu Rajab sedang menukil pendapat-pendapat para ulama terutama hanabilah tentang hadits nuzul Allah. Dan beliau juga menyebutkan beberapa kelompok hanabilah dalam hal ini. Jika kita lihat nukilan beliau di atas, maka dapat kita pahami bahwa beliau menolak keras kelompok yang berpendapat bahwa Allah turun ke langit dunia dengan Dzat-Nya, beliau mengatakan hadits tersebut palsu, padahal wahabi ada yang beraqidahkan seperti ini.

Kedua : Ibnu Rajab menjelaskan beberapa kelompok dari para ulama terutama hanabilah yang juga melakukan takwil terhadap sebagian ayat shifat, dan beliau sama sekali tidak mencelanya. Ini bukti bahwa dalam madzhab Hanbali takwil juga diterapkan. Tidak seperti sangkaan wahabi, saya nanti akan menyebutkan puluhan ulama hanabilah yang melakukan takwil yang tersebut dalam kitab-kitab mereka (hanabilah).

Ketiga : Dari nukilan riwayat Hanbal tentang imam Ahmad mentakwil “ Telah datang Tuhanmu “ dengan “ Telah datang perintah Tuhanmu “, beliau Ibnu Rajab sama sekali tidak menolak ucapan Hanbal bin ishaq bahkan tidak melemahkan riwayat tersebut. Coba perhatikan lagi :

“ Dan sungguh sebagian ashab kami dari kalangan ahli kalam condong terhadap hal ini, dan mereka telah mentakhrij dari imam Ahmad melalui riwayat Hanbal tentang firman Allah Ta’aala : “ Dan telah datang Tuhanmu “, (QS. al-Fajr : 22) bahwa yang dimaksud adalah “ Telah datang perintah Tuhanmu “.
Adakah setelahnya Ibnu Rajab menolak riwayat ini ? dan mendhaifkan riwayat tersebut seperti sangkaan wahabi yang membabi buta ?? jawabannya : Tidak, wahabilah yang telah berdusta.

Keempat : Yang ditolak dan dikritiki oleh Ibnu Hamid adalah riwayat berikut yang dinukil Ibnu Rajab setelahnya yaitu takwil “ Telah datang perintah Tuhanmu “. Coba renungkan dan perhatikan lagi :

Ibnu Hamid berkata : “ Aku melihat sebagian ashab kami meriwayatkan dari imam Ahmad tentang isfat datangnya Allah bahwasanya beliau mentakwilnya : dengan datang kekuasaan Allah, ia berkata “ Ini hanyalah sekedar tawahhum / dugaan dari pengucapnya, dan suatu kesalahan di dalam menisbatkan ucapan itu kepadanya “.

Sedangkan yang disahihkan imam Baihaqi sehingga dikatakan sanadnya sangat bersih “ Laa ghubaara ‘alaih “ dan dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Katisr adalah bukan riwayat tersebut, melainkan riwayat yang berbunyi : “ Telah datang pahala Tuhanmu “. Sangat berbeda dengan riwayat di atas. Maka dari penjelasan Ibnu Rajab dan Ibnu Katsir ada beberapa riwayat takwil dari imam Ahmad berkaitan sifat nuzulnya Allah berikut :

Ada riwayat takwil yang menyebutkan “ Telah datang perintah Tuhanmu “, ada riwayat takwil yang menyebutkan “ Telah datang kekuasaan Tuhanmu “ dan terakhir riwayat dari imam Baihaqi yaitu “ Telah datang pahala Tuhanmu “. Dan yang didhaifkan oleh Ibnu Hamid adalah riwayat yang kedua bukan yang pertama apalagi yang ketiga yang sanadnya bersih tidak ada cacatnya.   

Maka hujjah wahabi yang mengtakan bahwa Ibnu Rajab mendhaifkan riwayat takwil imam Ahmad yang diriwayatkan imam Baihaqi adalah mengada-ngada dan menipu atas nama Ibnu Rajab. Dan dari penjelasan di atas, tidak terbukti sama sekali Ibnu Rajab melemahkan riwayat takwil imam Ahmad melalui Hanbal. Beginikah cara berhujjah wahabi ??

Bersambung ke bagian III, saya akan mengupas kalam adz-Dzhahabi tentang gharib yang dijadikan hujjah oleh wahabi (anti takwil), dan mengurai sejarah konflik dalam madzhab Hanbali serta menyebutkan takwil-takwil yang dilakukan puluhan ulama Hanabilah.


 Salam :

Shofiyyah An-Nuuriyyah, 24-02-2013

8 komentar:

  1. bagus teruskan tumpas kessesatan

    BalasHapus
  2. Yang diingkari Ibnu Haamid ya riwayat Hanbal tersebut. Lihat:

    قال البيهقي في مناقب أحمد: وأنبأنا الحاكم قال حدثنا أبو عمر بن السماك قال حدثنا حنبل ابن إسحاق قال سمعت عمي أبا عبد الله يعني الإمام أحمد يقول: " احتجوا على يومئذ يعني يوم نوظر في دار أمير المؤمنين – فقالوا تجئ سورة البقرة يوم القيامة وتجئ سورة تبارك، فقلت لهم إنما هو الثواب قال الله تعالى: " وجاء ربك " إنما تأتي قدرته وإنما القرآن أمثال ومواعظ "
    تأتي قدرته sebagai penjelasan bagi وجاء ربك

    BalasHapus
  3. قال القاضي أبو يعلى في الروايتين والوجهين: وحكى شيخنا عن طائفة من أصحابنا أنهم قالوا : ينزل ، معناه قدرته ولعل هذا القائل ذاهب إلى ظاهر كلام أحمد في رواية حنبل أنه قال يوم احتجوا على : يومئذ ، تجيء البقرة يوم القيامة ويجيء تبارك وتعالى ، قلت لهم : هذا الثواب ، قال الله تعالى : ( وجاء ربك والملك صفا صفا ) إنما يأتي قدرته ، وإنما القرآن أمثال ومواعظ وزجر .

    Sangat jelas bahwa masalah al-ityaan yang dimaksud adalah yang hanya ada pada riwayat Hanbal tentang mihnah yang terkadang disebut amruhu dan terkadang disebut qudratuhu. Inilah idlthiraab.

    BalasHapus
  4. وروى الحافظ البيهقي في مناقب أحمد عن الحاكم عن أبي عمرو بن السماك عن حنبل عن أحمد بن حنبل تأول قول الله { وَجَاء رَبُّكَ } [سورة الفجر ] أنه جاء ثوابه ، ثم قال البيهقي : (( وهذا إسناد لا غبار عليه )). نقل ذلك ابن كثير في تاريخه (ج10/648) .

    وقال الحافظ البيهقي أيضا في (( مناقب أحمد )) : (( أنبأنا الحاكم قال حدثنا أبو عمرو بن السماك قال حدثنا حنبل ابن إسحاق قال سمعت عمي أبا عبد الله – يعني أحمد – يقول : ((احتجوا علي يومئذ – يعني يوم نوظر في دار أمير المؤمنين – فقالوا تجيء سورة البقرة يوم القيامة وتجيء سورة تبارك، فقلت لهم : إنما هو الثواب قال الله تعالى : { وَجَاء رَبُّكَ } [سورة الفجر] إنما يأتي قدرته وإنما القرءان أمثال ومواعظ . قال الحافظ البيهقي : وفيه دليل على أنه كان لا يعتقد في المجيء الذي ورد به الكتاب والنـزول الذي وردت به السنة انتقالا من مكان إلى مكان كمجيء ذوات الأجسام ونزولها وإنما هو عبارة عن ظهور ءايات قدرته فإنهم لما زعموا أن القرءان لو كان كلامَ الله وصفةً من صفات ذاته لم يجز عليه المجيء والإتيان فأجابهم أبو عبد الله بأنه إنما يجيء ثواب قراءته التي يريد إظهارها يومئذ فعبر عن إظهاره إياه بمجيئه ، وهذا الذي أجابهم به أبو عبد الله لا يهتدي إليه إلا الحذاق من أهل العلم المنزهون عن التشبيه )) ا هـ.

    Ibnu Katsir jelas keliru dalam riwayat karena dalam Al-Baihaqi dalam Manâqib Ahmad hanya metiwayatkan إنما يأتي قدرته sebagai tafsir bagi جاء ربك sedangkan penyebutan ثواب adalah tafsir bagi hadits.

    BalasHapus
  5. Kalau Ibnu Rajab dalam tafsirnya malah mengesahkan bahwa Ahmad tidak menakwil maji' dan ityân bukankah berarti melemahkan riwayat Hanbal atau mengarahkan bahwa Ahmad sedang mengilzam Mu'tazilah?

    وقال ابن رجب الحنبلي في تفسيره:

    وقد دل القرآن على ما دل عليه هذا الحديث في مواضع، كقوله

    (هل ينظرون إلا أن يأتيهم الله في ظلل من الغمام والملائكة)

    وقال: (هل ينظرون إلا أن تأتيهم الملائكة أو يأتي ربك أو يأتي بعض آيات ربك)

    وقال: (وجاء ربك والملك صفا صفا (22) .

    ولم يتأول الصحابة ولا التابعون شيئا من ذلك، ولا أخرجوه عن مدلوله.

    بل روي عنهم ما يدل على تقريره والإيمان به وإمراره كما جاء.

    وقد روي عن الإمام أحمد، أنه قال في مجيئه: هو مجيء أمره.

    وهذا مما تفرد به حنبل عنه.

    فمن أصحابنا من قال: وهم حنبل فيما روى، وهو خلاف مذهبه المعروف

    المتواتر عنه.

    وكان أبو بكر الخلال وصاحبه لا يثبتان بما تفرد به حنبل، عن أحمد

    رواية.

    ومن متأخريهم من قال: هو رواية عنه، بتأويل كل ما كان من جنس

    المجيء والإتيان ونحوهما.

    ومنهم من قال: إنما قال ذلك إلزاما لمن ناظره في القرآن، فإنهم استدلوا

    ج: ٢ ص: ٥٧٤

    على خلقه بمجيء القرآن، فقال: إنما يجيء ثوابه، كقوله: (وجاء ربك) .

    أي: كما تقولون أنتم في مجيء الله أنه مجيء أمر.

    وهذا أصح المسالك في هذا المروي.

    وأصحابنا في هذا على ثلاث فرق:

    فمنهم من يثبت المجيء والإتيان، ويصرح بلوازم ذلك في المخلوقات.

    وربما ذكروه عن أحمد من وجوه لا تصح أسانيدها عنه.

    ومنهم من يتأول ذلك على مجيء أمره.

    ومنهم من يقر ذلك، ويمره كما جاء، ولا يفسره، ويقول: هو مجيء

    وإتيان يليق بجلال الله وعظمته سبحانه.

    وهذا هو الصحيح عن أحمد، ومن قبله من السلف، وهو قول إسحاق

    وغيره من الأئمة.

    وكان السلف ينسبون تأويل هذه الآيات والأحاديث

    الصحيحة إلى الجهمية.

    لأن جهما وأصحابه أول من اشتهر عنهم أن الله تعالى منزه عما دلت

    عليه هذه النصوص بأدلة العقول التي سموها أدلة قطعية هي المحكمات.

    وجعلوا ألفاظ الكتاب والسنة هي المتشابهات، فعرضوا ما فيها على تلك

    الخيالات، فقبلوا ما دلت على ثبوته بزعمهم، وردوا ما دلت على نفيه

    بزعمهم، ووافقهم على ذلك سائر طوائف أهل الكلام من المعتزلة وغيرهم.

    وزعموا أن ظاهر ما يدل عليه الكتاب والسنة تشبيه وتجسيم وضلال.

    واشتقوا من ذلك لمن آمن بما أنزل الله على رسوله أسماء ما أنزل الله بها من

    ج: ٢ ص: ٥٧٥

    سلطان، بل هي افتراء على الله، ينفرون بها عن الإيمان بالله ورسوله.

    وزعموا أن ما ورد في الكتاب والسنة من ذلك - مع كثرته وانتشاره - من

    باب التوسع والتجوز، وأنه يحمل على مجازات اللغة المستبعدة، وهذا من

    أعظم أبواب القدح في الشريعة المحكمة المطهرة، وهو من جنس حمل

    الباطنية نصوص الإخبار عن الغيوب كالمعاد والجنة والنار على التوسع والمجاز

    دون الحقيقة، وحملهم نصوص الأمر والنهي على مثل ذلك، وهذا كله

    مروق عن دين الإسلام.

    ولم ينه علماء السلف الصالح وأئمة الإسلام كالشافعي وأحمد وغيرهما

    عن الكلام وحذروا عنه، إلا خوفا من الوقوع في مثل ذلك، ولو علم هؤلاء الأئمة أن حمل النصوص على ظاهرها كفر لوجب عليهم تبيين ذلك وتحذير الأمة منه " فإن ذلك من تمام نصيحة المسلمين، فكيف كان ينصحون الأمة فيما يتعلق بالأحكام العملية ويدعون نصيحتهم فيما يتعلق بأصول

    الاعتقادات، هذا من أبطل الباطل.

    قال أبو عبد الرحمن السلمي الصوفي: سمعت عبد الرحمن بن محمد بن

    جابر السلمي يقول: سمعت محمد بن عقيل بن الأزهر الفقيه يقول: جاء

    رجل إلى المزني يسأله عن شيء من الكلام، فقال: إني أكره هذا، بل أنهى

    عنه، كما نهى عنه الشافعي؛ فإني سمعت الشافعي يقول: سئل الليث عن

    الكلام والتوحيد، فقال مالك: محال أن يظن بالنبى - صلى الله عليه وسلم - أنه علم أمته الاستنجاء ولم يعلمهم التوحيد، فالتوحيد ما قاله النبي - صلى الله عليه وسلم -:

    "أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فإذا قالوها عصموا مني دماءهم وأموالهم "

    ج: ٢ ص: ٥٧٦

    BalasHapus
  6. Ibnu Rajab Al-Hanbaliy berkata dalam tafsirnya:

    قوله تعالى: (وجاء ربك والملك صفا صفا) ونحو ذلك مما دل على إتيانه

    ومجيئه يوم القيامة.

    وقد نص على ذلك أحمد وإسحاق وغيرهما.

    وعندهما: أن ذلك من أفعال الله الاختيارية التي يفعلها بمشيئته واختيار.

    وكذلك قاله الفضيل بن عياض وغيره من مشايخ الصوفية أهل المعرفة.

    وقد ذكر حرب الكرماني أنه أدرك على هذا القول كل من أخذ عنه العلم

    في البلدان، وسمى منهم: أحمد وإسحاق والحميدي وسعيد بن منصور.

    وكذلك ذكره أبو الحسن الأشعري في كتابه المسمى بـ "الإبانة"، وهو من

    أجل كتبه، وعليه يعتمد العلماء وينقلون منه، كالبيهقي وأبي عثمان الصابوني

    ج: ٢ ص: ٥٨٠

    وأبي القاسم ابن عساكر وغيرهم.

    وقد شرحه القاضي أبو بكر ابن الباقلاني.

    وقد ذكر الأشعري في بعص كتبه أن طريقة المتكلمين في الاستدلال على

    قدم الصانع وحدوث العالم بالجواهر والأجسام والأعراض محرمة عند علماء

    المسلمين.

    وقد روي ذم ذلك وإنكاره ونسبته إلى الفلاسفة عن أبي حنيفة.


    ج: ٢ ص: ٥٨١


    BalasHapus