Artikel saya yang
berbicara soal penipuan dan kecurangan wahabi dengan memanipulasi ucapan Ibnu
Rajab ternyata ditanggapi oleh AbulJauza dalam blognya rupanya dia juga
menyanggah artikel akhi Ibnu Abdillah Al-Katibi yang juga sempat menyinggung
penipuan dan manipulasi wahabi ini. Tapi sayang, dengan gaya bahasa yang
menyihir pecinta butanya masih tetap tak menyadari kelengahannya atau
kebutaannya di dalam melihat bentuk kecurangan wahabi yang begitu jelas dan
terang bagaikan sinar matahari di siang bolong akibat fanatic butanya terhadap
ajaran wahabi yang dianggapnya mengikuti salaf.
Kali ini saya perlu
menuntun abul jauza agar mampu melihat dengan jelas bentuk kecurangan dan
penipuan wahabi dengan memanipulasi ucapan Ibnu Rajab, dan sedikit bantahan
saya kepada argumentasi saudara Muhammad Anshorullah yang tidak jauh berbeda
dengan abul jauza.
Pada
artikel pertama, saya mengatakan :
“
Ternyata setelah kita cek di kitab Fathul Bari Ibnu Rajab sendiri, komentar
beliau tersebut bukanlah membahas atau menyinggung tentang takwilan imam Ahmad,
melainkan sedang membahas bab sholat, jika pakaiannya sempit. “
Dalam
artikel akhi Ibnu Abdillah Al-Katibiy menulis :
” Dalam
redaksi tersebut sangatlah jelas, bahwa yang sedang dibahas bukanlah tentang
penakwilan imam Ahmad pada ayat mutasyabihat akan tetapi pembahasan tentang bab
sholat. Sungguh hal ini adalah penipuan nyata yang sangat buruk yang telah
mereka lakukan demi mencari pembenaran. “
Abul Jauza
membantah :
“ Sangat
aneh ketika ada yang menukil perkataan ini untuk menunjukkan sifat tafarrud
dalam diri Hanbal dan bagaimana pendapat ulama tentangnya, dikatakan sebagai
suatu kecurangan. Katanya, yang sedang dibahas bukanlah tentang penakwilan imam
Ahmad pada ayat mutasyabihat akan tetapi pembahasan tentang bab shalat. Ini
namanya tidak mengetahui tujuan penukilan. Tidak pula memahami inti yang
dikatakan Ibnu Rajab.
Perkataan
beliau itu memang tidak berbicara masalah ‘aqidah, akan tetapi sedang bicara
masalah pakaian dalam shalat. Tapi yang ditekankan dalam penukilan di situ
adalah eksistensi tafarrud dalam riwayat Hanbal bin Ishaaq yang menimbulkan
kemusykilan dan sekaligus sikap Ibnu Rajab tentangnya. “
Saya
jawab :
Rupanya
Abul Jauza alias si Dony ini hanya pandai mengolah kata-kata saja tapi tak
pandai memahami siyaqul kalam (susunan pada kalimat).
Kita
tuntun pelan-pelan, berikut kalam Ibnu Rajab yang menyinggung bab shalat :
وهذه رواية
مشكلة جداً ، ولم يروها عن أحمد غير حنبل ، وهو ثقة ، إلا أنه يهم أحيانا ، وقد اختلف متقدمو الأصحاب فيما تفرد به
حنبل عن أحمد: هل تثبت به رواية عنه أم لا ؟
“ Riwayat ini sangatlah musykil (rumit) dan
tidak meriwayatkannya seorang pun selain Hanbal, walaupun ia tsiqah akan tetapi
ia terkadang sedikit wahm..dst “
Jelas
dan sangat terang, ketika wahabi membawakan komentar Ibnu Rajab dalam bab shalat
tersebut ke dalam bab penakwilan imam Ahmad, Maka secara sepontan pertama kali
yang dipahami pembaca adalah riwayat tersebut musykil / rumit, artinya pembaca
akan memahami bahwa riwayat penakwilan imam Ahmad sangatlah rumit. Padahal
jelas, yang rumit disitu bukanlah menyinggung riwayat Hanbal tentang penakwilan
imam Ahmad, melainkan menyinggung riwayat yang dibawakan Hanbal dalam bab
shalat tersebut.
Fokus :
Pemahaman
Ibnu Rajab : “ Riwayat ini (berkenaan bab shalat) sangatlah musykil “
Pemahaman
pembaca yang digiring wahabi : “
Riwayat ini (berkenaan bab takwil) sangatlah rumit “.
Walaupun
alasan wahabi dalam membawakan kalam Ibnu Rajab tersebut adalah
eksistensi tafarrud dalam riwayat Hanbal bin Ishaaq, akan tetapi paragraph awal tetap akan mempengaruhi
pembacanya, seolah riwayat penakwilan imam Ahmad bagi Ibnu Rajab itu musykil
padahal bukan itu yang dimaksudnya.
Apakah
ini bukan bentuk kesengajaan ingin menggiring pembaca pada pemahaman yang
dimaui wahabi tsb?? Apakah ini bukan suatu kedustaan dan manipulasi kalam Ibnu
Rajab??
Perumpamaan
logikanya :
Seorang
menteri mendapatkan informasi langsung dari Presiden bahwa pak Presiden jarang
sarapan nasi.
Oleh
Shaleh dikomentari “ Informasi ini sulit saya terima “.
Ketika
ada perselisihan dalam masalah informasi pak Presiden pernah shalat tahajjud,
oleh Wahab dibawakan komentar Shaleh tersebut yaitu “ Informasi ini sulit saya terima “.
Maka
para pendengarnya akan menangkap bahwa informasi yang mengatakan pak presiden
pernah shalat tahajjud itu sulit diterima. Padahal yang dimaksud shaleh adalah
informasi bahwa pak presiden jarang sarapan nasi bukan tentang sholat
tahajjudnya.
Wahab
beralasan “ tidak, saya tidak berdusta saya hanya menekankan di dalam
membawakan komentar shaleh adalah kesendirian pak menteri di dalam mendapatkan
informasi dari Presiden “.
Maka
setelah itu pembaca akan beranggapan bahwa pak presiden tidak pernah shalat
tahajjud. Padahal yang sholeh tolak informasinya adalah pak presiden jarang
sarapan nasi karena kesendiriannya si menteri tsb dalam menerima informasi,
artinya shaleh meyakini bahwa pak presiden selalu sarapan nasi.
Konsekuensi
akibat penukilan wahab tersebut sangatlah berbahaya dan bahkan telah menipu
pendengarnya dengan memanipulasi komentar shaleh tsb. Sehingga menimbulkan
pemahaman orang yang bertolak belakang dari faktanya. Naudzu billah, suatu
penipuan yang konsekuensinya sangat berbahaya…
Inilah
yang terjadi dalam kasus penukilan wahabi tentang riwayat Hanbal di dalam bab
shalat dan bab takwil imam Ahmad. Lalu dimana letak bertolak belakangnya ??
Bersambung
pada artikel saya selanjutnya, yang akan mengupas episode kecurangan dan
penipuan hujjah yang dibawakan wahabi di dalam menolak pentakwilan imam Ahmad
bin Hanbal dengan menukil kalam Ibnu Rajab yang beliau juga menukil kalam Ibnu
Hamid al-Hanbali yang mengatakan wahm pada pengucapnya dan suatu kesalahan
menisbatkannya kepada imam Ahmad.
Saya akan megupas lebih detail dan mungkin sedikit luas, karena di sini sangat jelas sekali penipuan mereka di dalam menukil redaksi Ibnu Rajab tidak dengan keseluruhannya hanya sepotong-potong dan membuang komentar Ibnu Rajab setelahnya yang menjadi penerang dalam masalah ini.
Dan saya pun akan
sedikit mengurai sejarah konflik dalam madzhab Hanbali karena mereka juga membawakan
kalam Abu Ya'la dijadikana hujjah para penolak takwil tersebut, karena ini juga
penting agar kita tidak mudah tertipu dan mengetahui akar sejarah dalam madzhab
Hanbali.
pembahasannya gak jelas sulit di fahami min,,,
BalasHapus