Avif Haryana :
Salah satu
kaidah penting dalam bab al asma' wassifat, terdapat pada firman Allah QS
42:11,
ليس
كمثله شيء وهو السميع البصير
baca: laisa
kamitslihi syaiun, wa huwassamii'ul bashiir
Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
Ayat ini
merupakan bantahan yang telak bagi golongan yang menolak sifat Allah
(Mu'aththilah), dan yang menyamakan Allah dengan sifat makhluk (Musyabbihah),
- laisa
kamitslihi syaiun -> bantahan bagi golongan yang menyamakan Allah dengan
sifat makhluk
- wa
huwassamii'ul bashiir -> bantahan bagi golongan yang menolak sifat Allah
Allah ta'ala
mengabarkan sendiri sifat-sifat Nya kepada kita (manusia) dalam Alquran, ingat
bahwa AL Quran adalah firman / kata-kata Allah.
Dalam ayat
ini terdapat kaidah penting bahwa tidak ada sesuatu apapun di jagat raya ini
yang serupa dengan Allah, karena Allah maha sempurna. Namun Allah
memberitahukan kepada kita (manusia) bahwa Dia mempunyai sifat-sifat, supaya
kita selaku hambanya mengenal-Nya dengan baik dan benar.
contoh sifat
yang Allah sebutkan dalam ayat ini adalah as sami' (maha mendengar) dan al
bashir (maha melihat), dimana sifat mendengar dan melihat ini juga dimiliki
oleh manusia, manusia bisa melihat, bisa juga mendengar.
Maka dari
itu penafsiran ayat ini tidak boleh dipotong-potong (laisa kamitslihi
ditafsirkan sendiri terpisah dengan ayat selanjutnya, wa huwassamii'ul
bashiir), bahkan ayat ini harus diartikan secara utuh karena bagian yang satu
menafsikan bagian yang lain. ya mbak Shofiyyah An-Nuuriyyah...
Maka kita
katakan: tidak ada yang sesuatu pun yang meyerupai Allah, namun Allah maha
melihat dan mendengar dengan sempurna dengan penglihatan yang berbeda dengan
makhluknya.
Kaidah ini
bisa di analogikan dengan sifat-sifat Allah yang lainnya..
wallahu
a'lam wa billahi attaufiiq..
Suka · · Berhenti Mengikuti Kiriman · 11 Juli pukul
16:13
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
Ayat mulia
tsb memang :
- laisa
kamitslihi syaiun -> bantahan bagi golongan yang menyamakan Allah dengan
sifat makhluk
- wa
huwassamii'ul bashiir -> bantahan bagi golongan yang menolak sifat Allah
=================
Pertama :
Allah mendahulukan kalimat TANZIH sblom mnyebutkan SIFAT. Agar kita terlebih
dahulu menyucikan Allah dr sgla hal yg baru dan sgla sifat makhluk-Nya.
Kmudian
Allah mnyebutkan sifat-sifatnya tsb, supaya manusia mengerti bahwa Allah
memiliki sifat. Dan sifatnya tanpa TAKYIF dan TASYBIIH.
Sbgaimana
Allah juga mentapkan sifat-sifat lainya sprti HIDUP, BERKEHENDAK, MAMPU dan
lainnya dlm al-Quran. Namun smua sifat tsb adalah sifat yang sempurna dan layak
bagi Allah.
Maka sbgai
umat muslim kita sangat dilarang mnyerupakan Allah dgn sgla HAL YANG BARU dan
sgla SIFAT MANUSIA sekcil apapun.
Dan kita
dilarang MENAFIKAN (TA'THIL) sifat-sifat Allah sebab Allah sndiri
menetapkannya.
Inilah
manhaj ULAMA SALAF.
11 Juli
pukul 16:44 · Suka · 3
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
Di bawah aq diskusi sm mas Agil Adianda Putra tntang TAKWIL dan perbandingan
AKIDAH kami.
Nah, di
thread ini sprtinya mas Avif Haryana ingin BERMUDZAKARAH dgn saya tentang
persoalan yg sedikit berbeda topiknya..
Oke aq
tanggapin, dan aq panggil bbrpa moderator dan tamu supaya Mudzakarahnya brjalan
baik-baik...
Mas Abdillah
Djunaidi, Supardi Bin Sastro Mu'iman, Syifa Muhammad ..
Cuma mrka yg
aku kenal bersikap bijak...
11 Juli
pukul 16:59 · Suka · 4
Afif Haryana :
thoyyib..
lanjut...
Kaedah
diatas juga bisa diterapkan kepada sifat-sifat Allah yang lain baik yang
fi'liyah maupun dzatiyyah..
sifat
fi'liyah contohnya: Allah 'turun' ke langit dunia pada sepertiga malam Akhir,
Allah istiwa' di atas 'Ars dll..
sifat
dzatiyah contohnya: tangan Allah, wajah Allah..
Maka dengan
berdasar kaidah diatas, kita katakan bahwa :
-Allah turun
ke langit dunia pada sepertiga malam akhir, namun turunnya Allah berbeda dengan
turunnya makhluk
- Allah
beristiwa (ada yang merjemahkan: bersemayam) diatas 'arsy, namun istiwa'nya
Allah berbeda dengan makhluqnya
-Allah punya
tangan, namun tangan Allah berbeda dengan tangan makhluqnya..
-Allah punya
wajah namun wajah Allah berbeda dengan makhluknya..
maka dari
itu benarlah perkataan imam Malik rahimahullah
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
baca: al
istiwaau ma'luumun wal kaifiyyatu majhuulun wal iimaanu bihi waajibun,
wassuaalu 'anhu bid'atun
artinya:
‘Al-Istiwaa’ adalah diketahui (yaitu diketahui maknanya dalam bahasa arab), kaifiyahnya
(bagaimananya sifat Allah) itu tidak diketahui (majhuul), beriman kepada sifat
Allah tersebut adalah wajib dan bertanya tentang sifat-sifat Allah adalah
bid’ah’.
11 Juli
pukul 17:34 · Suka
Shofiyyah An-Nuuriyyah:
Maka dengan berdasar kaidah diatas, kita
katakan bahwa :
-Allah turun
ke langit dunia pada sepertiga malam akhir, namun turunnya Allah berbeda dengan
turunnya makhluk
- Allah
beristiwa (ada yang merjemahkan: bersemayam) diatas 'arsy, namun istiwa'nya
Allah berbeda dengan makhluqnya
-Allah punya
tangan, namun tangan Allah berbeda dengan tangan makhluqnya..
-Allah punya
wajah namun wajah Allah berbeda dengan makhluknya..
=========================
Di sinlah
bedanga SIKAP ULAMA SALAF dengan sikap ANDA dan semisal anda...
Ulama salaf
menetapkan semua sifat Allah baik yg DZATIYYAH maupun yang KHOBARIYYAH, mereka
menyerahkan maknanya pada ALLAH dgn tetap MENYUCIKAN ALLAH DARI SEMUA HAL BARU
DAN SIFAT2 MAKHLUKNYA.
Oleh ulama
ini disebut dgn TAFWIDH atau TAKWIL IJMALI (bukan TAKWIL TASILI).
Namun
perspsi anda tntang sifatAllah ini, pada awalnya memang mentafwidh tapi
selanjutnya mengarah pada tajism.
Perhatikan
ucapan imam Ahmad bin Hanbal :
من
قال الله جسم لا كالأجسام كـَفَـرَ
“ Barangsiapa yang mengatakan ; Allah
itu berjisim tapi tidak seperti jisim manusia, maka ia telah kafir “.
(Tasyniful Masami’ juz 4 halaman : 684)
Ucapan anda
tsb sungguh pada awalnya ingin menafikan tasybih, tapi dgn mnyebutkan "
NAMUN TANGAN ALLAH BERBEDA DGN TANGAN KITA ", maka kembali anda menafikan
sifat Allah dan anda malah trjerumus pada TASYBIH ....
bsok insya
Allah saya akan jelaskna qoul para ulama yng menntang ucapan sprti itu dan knpa
bisa ditentang, saya akan jlskan scra detailnya...
skrg bntr lg
mau maghrib...aq stop dl...
11 Juli
pukul 18:11 · Suka · 3
Avif Haryana:
Silakan..semoga diskusi ini berfaidah, semoga
kita termasuk orang-orang yang dipuji Allah dalam Alquran QS Az Zumar ayat
17-18:
"sebab
itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, Yaitu orang-orang yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya .
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal"
11 Juli
pukul 18:23 · Telah disunting · Batal Suka · 3
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
PERTAMA mas Avif Haryana mngatakan :
-Allah punya
tangan, namun tangan Allah berbeda dengan tangan makhluqnya..
-Allah punya
wajah namun wajah Allah berbeda dengan makhluknya
===========
Aku jawab :
Bandingkan
dengan ucapan dan penjelasan salaf berikut tentang ayat-ayat khobariyyah tsb :
Imam Ahmad
bin Hanbal berkata :
ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله
“ Aku beriman terhadap apa yang dating
dari Allah atas makna yang Allah kehendaki, dan beriman kpd apa yang dating
dari Rasulullah atas makna yang Rasul kehendaki “.
Ulama salaf yg
lain mngtakan :
“ Kami beriman dengan semua sifat yang
Allah sifatkan dirinya sendiri dalam al-Quran tanpa KAIF dan tanpa
menyerupakaan Alah pada makluk-Nya “
Kami beriman
dengan Yad Allah, Rijl Allah, Ain Allah, wajh Allah dengan menyerahkan maksud sbnrnya
pada Allah dengan tanpa kaif dan tasybih.
Jadi para
ulama salaf tidak membawakan makna ayat-ayat dan hadits-hadits sifat dan
mutaysabihat kepada makna dhahirnya. Jika mereka membawakan makna dhahirnya,
maka mereka tidak mungkin mentafwidh / menyerahkan maksud sebenrnya pada Allah,
tapi mereka akan secara jelas mengatakan makna yad scra dhahir sbgaimana makna
Yad, Rijl, ain, wajh dalam bahasa Arabnya.
Oleh sebab
itulah ulama menamakan istilah tafwidh ini dengan TAKWIL IJMALI yaitu takwil yg
bersifat umum artinya mengalihkan maksud teks-teks yg mutasyabihat tsb dari
makna literalnya, tanpa mberikan maksud yang pasti trhadapnya, dengan
menyerahkan pengetahuan maksud yg sebenarnya kpd Allah Swt.
Sbgaiamana
dikatakan oleh imam Baijuri dlm kitab Syarh Jauhar Tauhidnya :
كما
ظهر أن السلف والخلف مجمعون على أن ظواهر هذه النصوص غير مرادة، وأنها مصروفة عن هذه الظواهر إلا أن السلف لا يعينون المعنى المراد وأما الخلف فيعينونه، ومن أجل ذلك قال كثير من العلماء إن السلف يؤولون تأويلاً إجمالياً، والخلف يؤولون تأويلاً تفصيلياً
“ Sbgaiamana telah jelas, bahwa ulama
salaf dan kholaf sepakat bahwa nash-nash tsb bukanlah makna literal yang
dimaksud. Dan sepakat bahwa maknanya dipalingkan dr makna literalnya. Akan
tetapi ulama salaf tidak menjelaskan maknanya sedangkan ulama kholaf
menjelaskan maknanya. Oleh sebab itu banyak para ulama mengatakan sesungguhnya
ulama salaf mentakwil tapi mentakwil secara ijmali sedangkan ulama kholaf
mentakwil secara tafsili. “
Nah sangat
bebeda jauh dengan ucapan mas Avif yang mengatakan “ ALLAH PUNYA TANGAN TAPI
TANGANNYA TIDAK SEPERTI MAKHLUKNYA “.
12 Juli
pukul 19:41 · Telah disunting · Suka · 3
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
Dan ucapan mas Avif Haryana di atas selain tidak pernah diucapkan oleh ulama
salaf, juga mngnadung wahm dan syak.
Ucapan itu
pada awalnya ingin menafikan taysbih (penyerupan pada Allah) tapi justru jatuh
pada tajsim dengan menisbatkan kaif (haiah)bagi Allah.
Ucapan
tersebut mau tidak mau pasti menimbulkan pemahaman bahwa Allah punya anggota
tubuh sprti tangan, kaki, jari, mata, hidung, wajah tapi tangan, kaki, jari,
mata, hidung dan wajah Allah tdk sperti tangan, kaki, jari, mata, hidung dan
wajah makhluk-Nya.
Inilah yang
dikatakan oleh imam Ahmad bin Hanbal :
“ Barangsiapa yang mengatakan Allah
punya jisim tapi tidk sprti jisim-jisim lainnya, maka dia telah kafir “..
12 Juli
pukul 19:33 · Suka · 3
Shofiyyah An-Nuuriyyah:
KEDUA : mas Avif mengatakan :
- Allah
beristiwa (ada yang merjemahkan: bersemayam) diatas 'arsy, namun istiwa'nya
Allah berbeda dengan makhluqnya.
==============
Aq jawab :
1. Skrg kita
bandingkan dulu dengan pendapat para ULAMA SALAF tentang ISTAWA :
Imam Abu
Hanifah mengakan :
"ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا"
“ Kita menetapkan sifat Istiwa bagi
Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut,
juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah
yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan
kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada
makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan
mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan
makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau
bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya,
jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy
Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda
makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung ”
(Lihat
al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad
Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh
al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Perhatikan
perkataan Imam Abu Hanifah diatas: ”Dan kami mengakui Bahwasannya Allah yang
maha Suci dan maha Tinggi diatas arsynya Istawa, tanpa membutuhkan (Ihtiyaj)
kepadanya dan Tanpa ber-Diam / berada (istiqrar) diatasnya ”.
Artinya
beliau mengimani bahwa Allah memang beristiwa sbgaimana dijelaskan dlm
al-Quran, tapi beliau tidak mengartikan Istiwaa dengan ”makna asalnya /
dhahirnya” yaitu : ”Istiqror” ( ber-diam / berada ). Itulah tafwidh atau takwil
ijmali yang dilakukan imam Abu Hanifah.
12 Juli
pukul 19:37 · Suka · 3
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
2. Imam
Malik. Disebutkan dalam kitab ASMA WA SHIFAT karya imam Baihaqi dgn sanad yg
bersambung pada imam Malik :
كنا
عند مالك بن أنس فدخل رجل فقال : يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استواؤه؟ قال: فأطرق مالك وأخذته الرحضاء ثم رفع رأسه فقال : الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع وأنت رجل سوء صاحب بدعة أخرجوه ، قال : فأخرج الرجل
“ Kami bersama Anas bin Malik, lalu
masuklah seseorang dan bertanya “ Wahai Abu Abdillah ; Ar-Rahman beristiwa di
atas Arsy, bagaimana Istiwanya Allah ? Maka imam Malik menundukan kepala
sejenak, kmudian mngangkat kepalanya lagi dan berkata : “ Ar-Rahman beristiwa
di atas arsy sbgaimana Dia mensifatinya dan tidak boleh dikatakan bagaiman
karena bagaimananya itu mustahil bagi Allah, engkau orang buruk pelaku bid’ah,
keluarkan dia ! ”.
Kenapa imam
Malik mngusir org tsb dan mngatakannya pelaku bid’ah ?
sebab pertanyaan
orang itu tentang bagaimana istiwanya Allah menunjukkan bahwa orang itu
memahami istiwa secara dhahir yang mrupakan persentuhan jisim dgn jisim dan
penetapannya atas arsy tapi org itu ragu di dalam bagaimana istiwa tsb. Dan
inilah tasybih yg sesungguhnya sehingga imam Malik mengatakan org itu pelaku
bid’ah.
Ini tentang
orang yang bertanya BAGAIMANA ISTAWANYA ALLAH, lalu bagaimana dengan orang yang
menafsirkan ISTAWA dgn duduk dan bersemayam?? bukan cuma sudh brbuat bid'ah
lagi tap sudh kufur..
12 Juli
pukul 19:39 · Suka · 3
Shofiyyah An-Nuuriyyah:
Imam Malik pun juga menafikan ARAH bagi Allah.
Ktika imam
Malik berbicara tentang hadits :
لا
تفضلوني على يونس بن متى
“ Janganlah kalian menggunggulkan aku
atas Yunus bin Matta “
Imam Malik
mengomentari hadits tsb sbgai berikut :
إنما خص يونس للتنبيه على التنـزيه لأنه صلى الله عليه وسلم رُفع إلى العرش ويونس عليه السلام هُبط على قابوس البحر ونسبتهما مع ذلك من حيث الجهة إلى الحق جل جلاله نسبة واحدة ، ولو كان الفضل بالمكان لكان عليه الصلاة والسلام أقرب من يونس بن متى وأفضل مكانا ولما نهى عن ذلك
“ Sesungguhnya Nabi menyebutkan dgn
khusus kpd nabi Yunus adalah sebagai peringatan atas PENSUCIAN ALLAH. Karena
nabi Saw diangkat ke arsy sedangkan Yunus ditenggelamkan di bawah dasar laut
(dlm perut ikan). Menisbatkan keduanya dari segi arah pada Allah adalah nisbat
yang satu. Seandainya keutamaan itu diperoleh dgn sebab tempat, maka niscaya
Rasulullah lebih dekat kepada Allah dibandingkan nabi Yunus dan paling utamanya
tempat dan niscaya Rasul tidak melarang utk mnggunggalkan beliau pada nabi
Yunus “.
Artinya,
kenapa Rasul melarang mengunggullkan dirinya atas nabi Yunus, padahal
Rasulullah diangkat ke arsy jika kita tetapkan Allah ada di Arsy dan nabi Yunus
di dasar lautan yang sangata dalam, bahkan dlm bbrpa tafsir di katakan tiga
kegelapan; kegelapan malam, kegelapan lautan dan kegelapan brada di dalam perut
ikan. Artinya Rasululllah lebih dekat ke Allah drpada nabi Yunus..
Sebab kata
imam Malik Allah bukan berada di suatu arah atas atau pun bawah. Beliau menafikan
arah bagi dzat Allah. Oleh sebab itulah nabi melarang hal itu sbgai peringatan
akan kesuciaan Allah dr arah atas maupun bawah. Sebab arah itu sifat bagi
makhluk sdngkan Allah bukan makhluk.
12 Juli
pukul 19:40 · Suka · 3
Avif Haryana:
Kepada Yth. Mbak Shofiyyah An-Nuuriyyah
Alhamdulillah
washsholatu wassalamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa man
waalahu..
amma ba’d,
Shofiyyah
said:
Imam Ahmad
bin Hanbal berkata :
ءامنت بما جاء عن الله على مراد الله وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله
“ Aku beriman terhadap apa yang dating
dari Allah atas makna yang Allah kehendaki, dan beriman kpd apa yang dating
dari Rasulullah atas makna yang Rasul kehendaki “.
========
Sungguh
bagus perkataan imam Ahmad rahimahullah ini, pantas ditulis dengan tinta emas.
Allah menghendaki suatu makna dan rasululllah juga menghendaki suatu makna.
Dengan kata lain bahwa Allah menjelaskan sifat-sifatnya dalam Al Quran dan
Rasulullah menjelaskan sifat-sifat Allah dalam hadits-haditsnya yang sohih
dengan makna yang terkandung dalam bahasa arab itu sendiri, tanpa takyif
tentunya.
Perhatikan
ayat-ayat ini:
- QS 26:195,
“dengan bahasa Arab yang jelas.” (maksudnya Alquran diturunkan dengan bahasa
arab yang jelas-red)
- QS 16:44,
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu (Muhammad) menerangkan pada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan
- QS 35:28
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama”
Al Quran
adalah firman Allah dengan bahasa Arab yang jelas, dan jelaskan pula oleh
Rusullullah Shallalhu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dengan bahasa
arab yang fasih, dengan makna yang dipahami oleh para sahabat. (fungsi
rasulullah sebagai mubayyin, QS 16:44). Terlebih dengan ayat-ayat yang berkaitan
dengan sifat-sifat Allah, mustahil rasulullah menjelaskan kepada para
shahabatnya dengan bahasa arab tanpa makna. Dan tentu para sahabat juga
memahami dengan maknanya dalam bahasa arab. Sehingga diantara hamba-hamba Allah
ada orang-orang yang sangat takut kepada Allah, karena mengimani asma wa sifat
Allah secara baik dan benar, merekalah para ulama sejati (QS 35:28). Note:
ulama, akar katanya dari ‘alima (ع ل م) yang artinya tahu.
Shofiyyah
said:
Kami beriman
dengan Yad Allah, Rijl Allah, Ain Allah, wajh Allah dengan menyerahkan maksud
sbnrnya pada Allah dengan tanpa kaif dan tasybih.
Ini
perkataan ulama salaf yang mana? Siapa bliau?
Shofiyyah
said:
Jadi para
ulama salaf tidak membawakan makna ayat-ayat dan hadits-hadits sifat dan
mutaysabihat kepada makna dhahirnya. Jika mereka membawakan makna dhahirnya,
maka mereka tidak mungkin mentafwidh / menyerahkan maksud sebenrnya pada Allah,
tapi mereka akan secara jelas mengatakan makna yad scra dhahir sbgaimana makna
Yad, Rijl, ain, wajh dalam bahasa Arabnya.
========
Kesimpulan
anda kurang tepat disini, karena rijl, 'ain, wajh adalah diketahui maknanya
dalam bahasa arab (ini adalah hal yang ma’ruf) walaupun mereka tidak secara
jelas mengatakannya. Yang diserahkan kepada Allah adalah kaifiyyah dari makna
tersebut (tanpa takyif)
Lihatlah
perkatatan imam malik berikut ini:
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
baca: al
istiwaau ma'luumun wal kaifu majhuulun wal iimaanu bihi waajibun, wassuaalu
'anhu bid'atun.
al istiwa` u
ma’luumun = istiwa diketahui maknanya dalam bahasa arab, yaitu: علا وارتفع (naik dan tinggi
wal kaifu
majhuulun = Kaifiyyahnya tidak diketahui, kita serahkan kaifiyyahnya kepada
Allah ( Tafwidh dlm kaifiyahnya, maknanya tetap dimaknai sebagai mana makna
katanya)
Namun,
sayangnya ada segelintir orang yang sengaja mau mendustakan perkataan Imam
malik ini dengan segala tipu muslihat, karena ini adalah perkataan sangat jelas
tentang manhaj salaf dalam aqidah asma’ wa assifat. Bahkan faktanya, Imam Al
Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa ini adalah perkataan imam malik.
Lihat tafsir
Al Qurtubi jilid 7 hal 219 baris terakhir s.d hal 220 baris pertama
(kitabnya
bisa di download di
http://ia700200.us.archive.org/2/items/waq61451/07_61454.pdf )
Saya juga
bisa sebutkan perkataan dengan makna yang sama yang sanadnya langsung
bersambung ke Imam malik:
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu MuhammadAl-Mukhalladiy : Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad bin Muslim Al-Isfiraayiiniy : Telah
menceritakan kepada kami Abul-Husain ‘Ali bin Al-Hasan : Telah menceritakan
kepada kami Salamah bin Syabiib : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin
Ja’far bin Maimun Ar-Ramliy, dari Ja’far bin ‘Abdillah ia berkata : “Datang
seorang laki-laki kepada Maalik bin Anas, yaitu menanyakan kepada beliau
tentang firman Allah : ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’
; bagaimana istiwaa’-nya Allah itu ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku
melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada
orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus
menantikan apa yang akan terjadi. Kemudian setelah keadaan Al-Imam Malik
kembali normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’
sendiri bukan sesuatu yang majhul, beriman kepada adalah wajib, dan bertanya
tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku takut kamu berada dalam
kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari
majelisnya [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits, hal. 38-39, tahqiq : Badr bin
‘Abdillah Al-Badr; Adlwaaus-Salaf, Cet. 2/1415].
15 Juli
pukul 22:00 · Suka · 1
Avif Haryana :
Shofiyyah said:
Ucapan
tersebut mau tidak mau pasti menimbulkan pemahaman bahwa Allah punya anggota
tubuh sprti tangan, kaki, jari, mata, hidung, wajah tapi tangan, kaki, jari,
mata, hidung dan wajah Allah tdk sperti tangan, kaki, jari, mata, hidung dan
wajah makhluk-Nya.
======
Tidak mesti
yang punya wajah punya anggota badan yang lain, kalau kita menetapakan anggta
badan yang lain tanpa dalil, ini adalah tasybih (Menyerupakan Allah dengan
Makhluknya) Apalagi wajah Allah kita tidak tahu kaifiyyahnya gimana, yang jelas
kita tetapkan wajah Allah sesuai maknanya tanpa kaifiyyah..Anda berusaha
mensucikan Allah (tanzih) dengan tanpa memaknai kata-kata yang berkaitan dengan
sifat-sifat Allah, dengan istilah tafwidh, menyerahkan makna dan kaifiyyahnya
kepada Allah. Namun pada dasarnya anda telah menolak makna-makna kata yang
telah Allah tetapkan dalam Al Quran dan makna kata yang telah rasulullah
sampaikan dalam hadits-haditsnya yang sohih yang berkaitan dengan asma wa sifat.
Anda berusaha untuk mensucikan Allah dengan tidak memaknai sifat-sifat Allah,
namun sebenarnya anda telah terjebak kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan
makhluk). Bagaimana bisa? Karena sebelum anda menolak makna-makna dari
lafadz-lafadz sifat dalam Al Quran dan Hadits, anda telah menyerupakan Allah
dengan makhluknya, sehingga pada akhirnya anda tolak makna makna tersebut.
Padahal Al quran adalah diturunkan dalam bahasa arab yang jelas dan kita
diperintahkan untuk mentadabburi ayat ayat nya, Ingat firman Allah dlm QS 38:
29, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai fikiran”. Bagaimana mungkin lafadz-lafadz sifat
dalam Al Quran tidak kita maknai? (Kecuali huruf-huruf muqatta’ah di awal-awal
surat, tidak kita tetapkan maknanya karena itu bukan susunan kata dalam bahasa
arab, alias maknanya tidak ada di kamus)
Dalam hal
ini kita perlu berhati-hati untuk menerima teks dalam Al Quran dan Hadits apa
adanya tanpa menolak maknanya dan tanpa menetapkan sifat-sifat yang tidak
ditetapkan oleh Allah dan rasulNya. Di dalam Al Quran sendiri Allah mengatakan
wajhullah (wajah Allah) di QS 2:115 dll, Yadullah (tangan) di QS 5:46,
‘ainullah (mata Allah) di dan kita hanya menetapkan lafadz-lafadz yang ada
dalam Al Quran dan hadits tanpa menolaknya dan tanpa menanyakan kaifiyyahnya.
Shofiyyah
said :
1. Skrg kita
bandingkan dulu dengan pendapat para ULAMA SALAF tentang ISTAWA :
Imam Abu
Hanifah mengakan :
"ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا"
“ Kita menetapkan sifat Istiwa bagi
Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut,
juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah
yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan
kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada
makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan
mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan
makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau
bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya,
jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy
Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda
makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung ”
(Lihat
al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad
Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh
al-Fiqhul Akbar, h. 70).
==========
Sungguh
indah perkataan Imam Abu Hanifah, dan inilah manhaj salafus sholeh. Namun
sayangnya anda menerjemahkan teks tersebut secara tendensius, diseret-seret
agar cocok dengan pendapat anda, terutama dalam potongan kata ini :
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi
Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut,
juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy”
dari mana
anda dapatkan kata “dalam pengertian”?
saya
nukilkan terjemahan yang lebih “netral” berikut:
”Kami menetapkan (mengakui) bahwa
sesungguhnya Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy tanpa Dia butuh kepadanya dan
tanpa bersemayam di atasnya.”
Tanpa dia
butuh kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya kepadanya dan tanpa bersemayam
di atasnya, adalah maksud tanpa takyif (mebagaimanakan), dengan menetapkan kata
istiwa’. Dan inilah manhaj salaf yang sesungguhnya menetapkan adanya makna
istiwa’ dan menyerahkan kaifiyah istiwa kepada Allah (karena kita tidak
mengetahui kaifiyahnya)
Jadi
perkataan Abu Hanifah ini sebenarnya adalah hujjah saya bukan hujjah anda.
Shofiyyah
said:
Perhatikan
perkataan Imam Abu Hanifah diatas: ”Dan kami mengakui Bahwasannya Allah yang
maha Suci dan maha Tinggi diatas arsynya Istawa, tanpa membutuhkan (Ihtiyaj)
kepadanya dan Tanpa ber-Diam / berada (istiqrar) diatasnya ”.
========
Nah kalau
yang ini tidak tendensius.
Shofiyyah
said:
Artinya
beliau mengimani bahwa Allah memang beristiwa sbgaimana dijelaskan dlm
al-Quran, tapi beliau tidak mengartikan Istiwaa dengan ”makna asalnya /
dhahirnya” yaitu : ”Istiqror” ( ber-diam / berada ). Itulah tafwidh atau takwil
ijmali yang dilakukan imam Abu Hanifah.
========
Yang
dilakukan Imam abu hanifah disini bukan tafwidh makna, tapi tafwidh
kaifiyyahnya.
Intinya
Manhaj salaf dalam aqidah asma’ wa sifat bukan tafwidh makna, akan tetapi
menetapkan adanya makna pada lafadz-lafadz sifat-sifat Allah yang ada dalam Al
Quran dan hadits, dengan tanpa takyif (bisa dibilang, tafwidh dalam masalah
kaifiyah), tanpa ta’thil, tanpa tamsil dan tanpa
tasybih. Sekian dulu,
Wallahu
‘alam
Washallahu
‘ala nabiyyina muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam..
15 Juli
pukul 22:00 · Suka · 1
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
Avif Haryana Sa’id :
Al Quran
adalah firman Allah dengan bahasa Arab yang jelas, dan jelaskan pula oleh
Rusullullah Shallalhu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dengan bahasa
arab yang fasih, dengan makna yang dipahami oleh para sahabat. (fungsi
rasulullah sebagai mubayyin, QS 16:44). Terlebih dengan ayat-ayat yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah, mustahil rasulullah menjelaskan kepada para
shahabatnya dengan bahasa arab tanpa makna. Dan tentu para sahabat juga
memahami dengan maknanya dalam bahasa arab. Sehingga diantara hamba-hamba Allah
ada orang-orang yang sangat takut kepada Allah, karena mengimani asma wa sifat
Allah secara baik dan benar, merekalah para ulama sejati (QS 35:28). Note:
ulama, akar katanya dari ‘alima (ع ل م) yang artinya tahu.
===============
saya jawab :
Memang benar
al-Quran diturunkan degn bahasa Arab. Lafadz-lafadz bahasa arab sndiri itu pun
memiliki uslub yang tinggi dan makna yang luas. Sebelum Islam datang dan
sesudahnya, bahasa arab pun juga memiliki makna yang berlainan, misal sblom
Islam datang Sholah bermakna doa dan setelah Islam dating sholah bermakna
segala perbuatan dan ucapan yang dimulai degn takbir dan diakhiri dgn salam.
Dalam bahasa
arab pun juga memiliki makna Haqiqatan dan Majaazan contoh yang majaazan Hadits
Nabi Saw :
أسرعكن لحوقا بى أطولكن يدا
“ Paling segeranya di antara kalian
(keluarga Rasul) yang menyusulku adalah yang paling panjang tangannya “.
Makna hadits
itu bukan berarti tangan yang paling panjang, tapi yang paling banyak
shodaqahnya.
Demikian
juga makna bhsa arabnya dalam kalam bermakna dgn makna yang berlainan sesuai
Siyaqul kalamnya.
Nah dalam
aya-ayat al-Quran juga sebagian hadits ada yg disebut sebgai Muhkam dan
mutasyabih.
Muhkamat :
Ayat-ayat yang terang dan jelas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
Mutasyabihat
: Ayat yang tidak jelas maksudnya, yang seoalah menyerupakan Allah dengan
makhluknya.
Ayat-ayat
Muhkamat oleh Allah disebut dgn Ummul kitab (pokok-pokok isi al-Quran), karena
ayat muhkamat tsb yang harus menjadi acuan dan rujukan dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihat.
Di antaranya
ayat :
“ Laitsa kamitslihi syaiun “
Allah dan
Rasul-Nya telah mengajarkan pada kita bagaimana cara menyikapi ayat-ayat
mutasyabihat. Yaitu agar kita mengimani dan membenarnkan adanya sifat-sifat
yang Allah sebutkan dlm al-Quran maupun haditsnya tanpa menanyakan kaifiyat dan
tanpa menyerupakannya dgn sifat-sifat makhluk-Nya. Dan Allah melarang dan
mengecam orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dgn tujuan
menimbulkan fitnah bagi kaum muslimin lainnya.
Oleh sebab
itu imam Ahmad Ar-Raifa’I (W 578 H, yang sangat dipuji-puji Ibnu Taimiyyah dlm
salah satu kitabnya) mengatakan :
صونوا عقائدك من التمسك بظاهر ما تشابه من الكتاب والسنة فان ذالك من اصول الكفر
“Jagalah aqidah kamu sekalian dari
berpegang kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu
'alayhi wasallam yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal
kekufuran". (Burhan al-Muayyad)
Jelas,
dilarang mengikuti makna dhahir dr ayat-ayat mutasyabihat, sebab makna dhahir
dlm bhsa arab memiliki makna yang banyak contohnya Istawa, ini memiliki 15
makna dan tak ada satupun satu makna yang mewakili makna Istawa shingga
maknanya menjadi mutasyabih / samar. Jika kita ikuti makna dhahirnya, maka
mnjadikan pmhaman bahwa Allah itu istaqarra / bersemayam di atas arsy sdngkan
kata istaqarra / semayam itu sifat makhluk. Maka kita telah menyerupakan Allah
dgn sifat makhluknya padahal Allah tidk sperti makhluk-Nya.
Dan sebab
itulah imam Ath-Thahawi (ulama salaf) berkata : Brangsiapa yang mensifati Allah
dgn makna / sifat dari makna-makna /sifat-sifat makhluk, maka dia telah kafir
“.
17 Juli
pukul 15:57 · Suka
Shofiyyah
An-Nuuriyyah Kami beriman dengan Yad Allah, Rijl Allah, Ain Allah, wajh Allah
dengan menyerahkan maksud sbnrnya pada Allah dengan tanpa kaif dan tasybih.
Ini
perkataan ulama salaf yang mana? Siapa bliau?
==============
Bnyak ulama
salaf yang mengatakan dgn ucapan yang senada di atas, di antaranya imam Abu
Hanifah ktika mnjlaskan pmbhsan tntang melihat Allah di surge, beliau
mengatakan :
ويراه المؤمنون وهم في الجنة بأعين رؤوسهم بلا تشبيه ولا كيفية ولا كمية ولا يكون بينه وبين خلقه مسافة
“ Dan kaum muslimin akan melihat Allah
ketika mereka di surge dgn mata kepala mereka sndiri tanpa TASYBIH, KAIFIYYAH,
KUMMIYYAH dan tak ada jarak antara Allah dan makhluk-Nya “
(Al-Wshiyah
: 136-137)
Artinya imam
Abu Hanifah mengimani terlihatnya Allah bagi hamba-Nya kelak di surga tanpa
Tasybih, Kaifiyyah dan Kummiyyah. Ini merupakan tafwidh yg sempurna dari imam
Abu Hanifah terkait ayat mutasyabihat.
Imam Syafi’i
juga pernah mengatakan dgn ucapan yang senada di atas saat ditanya tentang ayat
ISTAWA, beliau menjawab :
ءامنت بلا تشبيه وصدقت بلا تمثيل واتهمت نفسي في الإدراك وأمسكت عن الخوض فيه كل الإمساك
“ Aku mengimani (ayat-ayat tsb) tanpa
Tasybih, aku membenarkannya tanpa Tamstil, aku mencurigaiku diriku di dalam
memahaminya dan aku mencegah diriku dari memperdalam pemahamannya dgn
sebenar-benarnya pencegahan “. (al-burhanu al-Muayyad : 24)
Perhatikan
sikap imam Syafi’I tntang ayat mutasyabihat, beliau bersikap :
1. Mengimani
tanpa TASYBIH
2.
Membenarkan tanpa TAMTSIL
3.
Mencurigai diri dari memahaminya artinya beliau tidak berani meng-idrak ISTAWA
tsb
4. Imsak /
menahan diri dgn sbnr-benarnya dr haudh (membicarakan lbh dalam) ayat tsb
Ini juga
merupakan TAFWIDH yg sempurna dr imam Syafi’i..
17 Juli
pukul 15:59 · Suka
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
Avif Haryana sa'id :
Lihatlah
perkatatan imam malik berikut ini:
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة.
baca: al
istiwaau ma'luumun wal kaifu majhuulun wal iimaanu bihi waajibun, wassuaalu
'anhu bid'atun.
al istiwaa u
ma’luumun = istiwa diketahui maknanya dalam bahasa arab, yaitu: علا وارتفع (naik dan tinggi
wal kaifu
majhuulun = Kaifiyyahnya tidak diketahui, kita serahkan kaifiyyahnya kepada
Allah ( Tafwidh dlm kaifiyahnya, maknanya tetap dimaknai sebagai mana makna
katanya)
Namun,
sayangnya ada segelintir orang yang sengaja mau mendustakan perkataan Imam
malik ini dengan segala tipu muslihat, karena ini adalah perkataan sangat jelas
tentang manhaj salaf dalam aqidah asma’ wa assifat. Bahkan faktanya, Imam Al
Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa ini adalah perkataan imam malik.
Lihat tafsir
Al Qurtubi jilid 7 hal 219 baris terakhir s.d hal 220 baris pertama
(kitabnya
bisa di download di
http://ia700200.us.archive.org/2/items/waq61451/07_61454.pdf )
======================
Ini
merupakan pemahaman secara tendensius :
Pertama :
tidak dijelaskan oleh imam Ahmad apa yg dimaksud maklum di situ. Apa maklum
dari segi lafadz atau maklum disebutkan dalam al-Quran.
Kedua :
Bagiamana dikatakan Maklum fil lafadz, sdngkan makna lafadz Istawa sangat
bnyak. Dan hamper seluruhnya mewahamkan tasybih bagi Allah. Sdngkan Allah
melarang mengikuti mutasybih.
Ketiga :
Oleh ulama kalam imam Malik tsb dinilai dhaif, dan yg shahih sbgaimana
disebutkan oleh imam Baihaqi berikut :
الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه ولا يقال كيف وكيف عنه مرفوع
“ Ar-Rahman beristiwa di atas Arsy
seperti yang Dia sifati sendiri, dan tidak boleh ditanyakan kaifiyyahnya
sedangkan kaifiyah itu mustahil bagi Allah “. (al-Asma wa ash-shifat : 408)
Dalam kalam
yg ini tdk disebutkan “ al-Istiwa ma’lum “ dan ini lebih shahih mnurut imam
Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya.
Keempat :
Jika anda memahami ISTAWA dgn makna dhahirnya dalam bhsa arab semisal istaqarra
/ bersemayam, maka anda telah mensifati Allah dgn sifat makhluk-Nya karna
istaqarra adalah sifat makhluk. Maka tak ada manfaatnya lagi anda memberikan
embel-embel setelahnya dgn mngucapkan “ Istaqarra yang tidak seperti istaqarra
makhluk-Nya “, inilah yang dikatakan oleh imam Jakfar ath-Thahawi :
ومَن وَصَفَ اللهَ بمعنًى مِن معاني البَشَرِ فَقَدَ كَفَرَ
“ Barangsiapa yang mensifati Allah
dengan makna dari makna-makna manusia, maka ia telah kufur "..
17 Juli
pukul 16:01 · Suka
Shofiyyah An-Nuuriyyah : Anda mengatakan:
Tidak mesti
yang punya wajah punya anggota badan yang lain, kalau kita menetapakan anggta
badan yang lain tanpa dalil, ini adalah tasybih (Menyerupakan Allah dengan
Makhluknya) Apalagi wajah Allah kita tidak tahu kaifiyyahnya gimana, yang jelas
kita tetapkan wajah Allah sesuai maknanya tanpa kaifiyyah..
==================
Saya jawab :
saya tidak
menetapkan apa yang tidak ditetapkan oleh Allah Swt. Tapi justru aku menetapkan
apa yang Allah telah tetapkan.
Jutru
sebenarnya anda telah bicara tanpa ilmu sehingga tanpa sadar anda telah
menafikan sebagian sifat-sifat Allah, naudzu billah min dzaalik.
Bukankah
banyak ayat-ayat al-Quran dan Hadits yang juga menyebutkan sifat Jari Allah?
Sifat kanan Allah, sifat samping Allah, sifat betis Allah? Sifat JALAN Allah,
Sifat penciuman Allah ? sifat SAKIT Allah? Sifat LUPA Allah ? dan lain
sebagainya…kenapa anda mengatakan saya menetapkan sifat-sifat (bukan anggota
badan) Allah tanpa dalil ??
Tidakkah
anda membaca ayat dan hadits :
Tentang
betis : يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاق (al-Qolam : 42)
Tentang
tertawa : ضحك
الله الليلة (Tadi malam Allah tertawa) al-Hadits
Tentang jari
: قلب المؤمن بين أصبعين من أصابع الرحمن (Hati mukmin di antara dua jari dari
Jari-jari Allah)
Tentang
kanan : الحجر الأسود يمين الله في أرضه (Hajar Aswad kanan Allah di muka
bumi)
Tentang jiwa
: تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ (al-Quran)
Tentang Lupa
: نسوا الله فنسيهم (Mereka lupa pada Allah maka Allah
melupakan mereka) (al-Quran)
Tentang
sakit : يا ابن آدم مرضت فلم تعدني (Wahai anak Adam, aku sakit kenapa
kamu tidak menjengukku) (al-Hadits)
Dan lain
sbgainya bahkan sangat banyak disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Minhaj
As-Sunnah tentang ayat-ayat sifat yang seolah-olah Allah memiliki semua nggota
tubuh sprti makhluk lainnya yg juga memiliki anggota tubuh.
17 Juli
pukul 16:02 · Suka
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
Avif Haryana sa'id :
Anda
berusaha mensucikan Allah (tanzih) dengan tanpa memaknai kata-kata yang
berkaitan dengan sifat-sifat Allah, dengan istilah tafwidh, menyerahkan makna
dan kaifiyyahnya kepada Allah. Namun pada dasarnya anda telah menolak
makna-makna kata yang telah Allah tetapkan dalam Al Quran dan makna kata yang
telah rasulullah sampaikan dalam hadits-haditsnya yang sohih yang berkaitan dengan
asma wa sifat. Anda berusaha untuk mensucikan Allah dengan tidak memaknai
sifat-sifat Allah, namun sebenarnya anda telah terjebak kepada tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk). Bagaimana bisa? Karena sebelum anda
menolak makna-makna dari lafadz-lafadz sifat dalam Al Quran dan Hadits, anda
telah menyerupakan Allah dengan makhluknya, sehingga pada akhirnya anda tolak
makna makna tersebut.
===================
Saya jawab :
Ini kusebut
dengan pemikiran atau kesimpulan yang premature. Jika anda mngatakan sprit itu
maka sama saja anda menyamakan ayat-ayat mutasyabihat dengan ayat-ayat
muhkamaat, lalu buat apa Allah membedakan ayat-ayat mutasyabihat dari yang
muhkamaat, jika harus mnyikapinya sama ??
Buat apa
pula Allah menamakan ayat-ayat tsb dgn MUTASYABIHAT jika bagi anda cara
memahaminya sama dgn ayat muhkamaat??
Justru Allah
menamakan ayat-ayat tsb dgn MUTASYABIHAT disebabkan terdapat pemahaman yang
samar dlm ayat mutasyabihat, pemahaman yang seolah menyerupakan Allah dgn
makhluk-Nya. Oleh sebab itu Allah membedakan ayat yang mutasyabihat dgn ayat
muhkamat. Agar umat muslim berhati-hati di dalam memahami ayat-ayat
mutasyabihat. Dan tidak mengikuti ayat-ayat mutasyabihat tsb shingga bisa
mnyebabkan kesyrikan atau kekufuran.
Dan buat apa
pula para ulama salaf mentafwidh makna dan kaifiyah jika ayat mutasyabihat itu
seperti ayat muhkamat (atas konsekwensi argumntasi anda)?? Kenapa pula para
ulama salaf tidak mnjelaskan saja secara sharih makna ayat-ayat mutasyabihat
mnurut makna bhsa Arabnya ??
Maka
argumntasi anda tsb (sebelum anda menolak makna-makna dari lafadz-lafadz sifat
dalam Al Quran dan Hadits, anda telah menyerupakan Allah dengan makhluknya,
sehingga pada akhirnya anda tolak makna makna tersebut.) adalah argumntasi
premature yang tidak pandai memahami makna ayat mutasyabihat dan tidak cerdas
di dalam menyikapi ayat mutasyabihat juga tidak bisa membedakan ayat
mutasybihat dgn ayat muhkamat.
17 Juli
pukul 16:05 · Suka
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
Anda mengtakan : Sungguh indah perkataan Imam Abu Hanifah, dan inilah manhaj
salafus sholeh. Namun sayangnya anda menerjemahkan teks tersebut secara
tendensius, diseret-seret agar cocok dengan pendapat anda, terutama dalam
potongan kata ini :
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi
Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut,
juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy”
dari mana
anda dapatkan kata “dalam pengertian”?
saya
nukilkan terjemahan yang lebih “netral” berikut:
”Kami menetapkan (mengakui) bahwa
sesungguhnya Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy tanpa Dia butuh kepadanya dan
tanpa bersemayam di atasnya.”
========================
Saya jawab :
Saya bukan
menerjemahkannya scra tendensius, tapi saya berusha mensyrkan qoul imam Abu
Hanifah tsb. oleh krna itu saya pertegas kembali dgn terjemahan saya stelahnya
yaitu :
Perhatikan
perkataan Imam Abu Hanifah diatas: ”Dan kami mengakui Bahwasannya Allah yang
maha Suci dan maha Tinggi diatas arsynya Istawa, tanpa membutuhkan (Ihtiyaj)
kepadanya dan Tanpa ber-Diam / berada (istiqrar) diatasnya ”.
17 Juli pukul
16:07 · Suka
Shofiyyah An-Nuuriyyah:
Avif Haryana sa'id :
Tanpa dia
butuh kepadanya dan tanpa bersemayam di atasnya kepadanya dan tanpa bersemayam
di atasnya, adalah maksud tanpa takyif (mebagaimanakan), dengan menetapkan kata
istiwa’. Dan inilah manhaj salaf yang sesungguhnya menetapkan adanya makna
istiwa’ dan menyerahkan kaifiyah istiwa kepada Allah (karena kita tidak
mengetahui kaifiyahnya)
Jadi
perkataan Abu Hanifah ini sebenarnya adalah hujjah saya bukan hujjah anda.
================
Saya jawab :
sepertinya
anda kurang jeli dan kurang cermat memahami kalam imam Abu Hanifah tsb.
perhatikan :
Imam Abu
Hanifah mengakan :
ونقر بأن الله سبحانه وتعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة إليه واستقرار عليه، وهو حافظ العرش وغير العرش من غير احتياج، فلو كان محتاجا لما قدر على إيجاد العالم وتدبيره كالمخلوقين، ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلق العرش أين كان الله، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا"
“ Kita menetapkan sifat Istiwa bagi
Allah pada arsy, TANPA MEMBUTUHKAN arsy, juga TANPA ISTIQRAR / BERSEMAYAM di arsy
"
Imam Abu
Hanifah justru menetapkan sifat ISTAWA TAPI BELIAU MENTAFWIDH MAKNANYA. Beliau
tidak memegang kata ISTAWA pada makna dhahirnya :
Jadi sikap
imam Abu Hanifah adalah :
ITSBAT :
Kita menetapkan bahwa Allah BERISTIWA.
BILAA
TASYBIIH : tanpa membutuhkan pada arsy.
TAFWIDH :
Tanpa ISTIQRAR / bersmayam di atas arsy. sebab makna dhahir dr lafadz Istiwa
itu istiqrar.
Inilah yang
harus anda pahami wahai kawan..
17 Juli
pukul 16:17 · Telah disunting · Suka
Shofiyyah An-Nuuriyyah :
Avif Haryana sa'id : Yang dilakukan Imam
abu hanifah disini bukan tafwidh makna, tapi tafwidh kaifiyyahnya.
Intinya
Manhaj salaf dalam aqidah asma’ wa sifat bukan tafwidh makna, akan tetapi
menetapkan adanya makna pada lafadz-lafadz sifat-sifat Allah yang ada dalam Al
Quran dan hadits, dengan tanpa takyif (bisa dibilang, tafwidh dalam masalah
kaifiyah), tanpa ta’thil, tanpa tamsil dan tanpa
tasybih. Sekian dulu,
====================
Saya jawab :
Sprti yg
sudh aku jelasi barusan, terbukti bahwa imam Abu Hanifah mentafwidh maknanya.
jika imam Abu Hanifah mentafwidh kaifiyyahnya maka beliau tidk akan mngatakan
" Min ghoiri an yakuuna muhtaajan ilaihi WASTIQRAARIN 'ALAIH ", krna
makna dhahir dr lafadz Istiwa di antaranya adalah ISTIQRAR.
Nah imam Abu
Hanifah menafikan makna ISTIQRAR yg merupakan salah satu makna dhahir dr lafadz
ISTAWA. Dan beliau tidak menjelaskan ISTAWA dgn makna Dhahirnya. Maka jelas
sudah ini disebut TAFWIDH MAKNA DAN KAIFIYYAH.
Anda
sprtinya perlu melihat bbrpa pndapat para ulama tntang hal ini di antaranya
kalam IBNU TAIMIIYAH sndiri yang mnegakui TAFWIDH MAKNA :
" الْإِيمَانُ بِصِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَسْمَائِهِ " الَّتِي وَصَفَ بِهَا نَفْسَهُ وَسَمَّى بِهَا نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ وَتَنْزِيلِهِ أَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهَا وَلَا نَقْصٍ مِنْهَا وَلَا تَجَاوُزٍ لَهَا وَلَا تَفْسِيرٍ لَهَا وَلَا تَأْوِيلٍ لَهَا بِمَا يُخَالِفُ ظَاهِرَهَا وَلَا تَشْبِيهٍ لَهَا بِصِفَاتِ الْمَخْلُوقِينَ ؛ وَلَا سِمَاتِ المحدثين بَلْ أَمَرُوهَا كَمَا جَاءَتْ وَرَدُّوا عِلْمَهَا إلَى قَائِلِهَا ؛ وَمَعْنَاهَا إلَى الْمُتَكَلِّمِ بِهَا
“Beriman kepada Sifat Allah Ta’ala dan
NamaNya” yang telah Dia sifatkan diriNya sendiri, dan Dia namakan diriNya
sendiri, di dalam KitabNya dan wahyuNya, atau atas lisan RasulNya, dengan tanpa
penambahan atau pengurangan atasnya, tidak melampauinya, tidak menafsirkannya
dengan apa-apa yang menyelisihi zhahirnya, tidak menyerupakannya dengan
sifat-sifat makhluk, dan apalagi dengan pembawa berita, tetapi membiarkan
sebagaimana datangnya, dan mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya,
dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya. ” (Majmu’ Fatawa, 1/
294)
Perkataan
Ibnu Taimiyyah yg ini (...mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya, dan
mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya...) mau disadari atau tidak
adalah TAFWIDHUL ILMI dan TAFWIDHUL MAKNA. Maka, klaim itsbat hanya tafwidhul
kaifiyat adalah KELIRU! Tafwidh yang benar adalah tafwidul ilmi, kaifiyat
sekaligus MAKNAnya.
Imam Adz
Dzahabi berkata :
فقولنا في ذلك وبابه: الاقرار، والامرار، وتفويض معناه إلى قائله الصادق المعصوم
"
Adapun pendapat kami tentang itu dan dalam bab ini adalah mengakui, membiarkan,
dan menyerahkan (tafwidh) maknanya kepada pengucapnya yang benar dan ma’shum
" (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 8/105)...
Imam Syafi'i
:
. وَقَالَ بَعْضُهُمْ - وَيُرْوَى عَنْ الشَّافِعِيِّ - : " آمَنْت بِمَا جَاءَ عَنْ اللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللَّهِ "
"
Sebagian ulama berkata: -diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i- : Aku beriman
dengan apa-apa yan datang dari Allah, dan yang datang dari Rasulullah
Shllalalhu “Alaihi wa Sallam dengan maksud dari Rasulullah"..
17 Juli
pukul 16:32 · Telah disunting · Suka
NB : sejak bulan Juli itu hingga saat ini bulan september, ustadz Salafi itu tidak membalas hujjah saya tsb.
Sudah sangat sering saya dibohongi-janji-janji ustadz salafi yang jika mereka terbukti salah, mereka mau mengakui kesalahannya dan mau menerima kebenaran yang saya sampaikan.