Bagian kedua ini,
saya akan tunjukkan kepada pembaca beberapa kecurangan dan tipu muslihat serta
penipuan para penolak riwayat takwil imam Ahmad bin Hanbal yang mereka lakukan
ketika berhujjah untuk menolak takwil imam Ahmad melalui riwayat Hanbal. Dan
saya berlindung kepada Allah dari sikap tipu muslihat mereka tersebut.
Wahabi telah berani memanipulasi ucapan Ibnu Rajab
al-Hanbali dan tidak amanat di dalam menampilkan redaksi yang sepotong-potong,
tidak ditampilkannya secara utuh.
Dan inilah yang
menjadi korban manipulasi wahabi dalam beberapa ucapan Ibnu Rajab seperti yang
akan pembaca ketahui dengan jelas dan terang setelah ini.
a.
Dalam artikel Abul Jauza yang dia menukilnya dari situs-situ para penentang
takwil, mengatakan :
Ibnu
Rajab rahimahullah menukil adanya perselisihan pendapat dalam menyikapi
tafarrud Hanbal bin Ishaaq (saat membahas permasalahan pakaian dalam shalat) :
وهذه رواية مشكلة جدا، ولم
يروها عن أحمد غير حنبل ، وهو ثقة إلا أنه يهم أحيانا ، وقد اختلف متقدمو الأصحاب
فيما تفرد به حنبل عن أحمد : هل تثبت به رواية أم لا
“Riwayat
ini sangatlah musykil. Tidak ada yang meriwayatkanya dari Ahmad selain Hanbal.
Ia seorang yang tsiqah, hanya saja ia kadang mengalami wahm. Para ulama madzhab
Hanaabilah terdahulu berbeda pendapat tentang riwayat yang Hanbal bertafarrud
(bersendirian) dari Ahmad : Apakah riwayat tersebut tsabt ataukah tidak[2]”
[Fathul-Baariy, 3/267]. Mungkin maksudnya juz 2 halaman 367..
Saya
jawab :
Bagi
pembaca yang membaca potongan ucapan Ibnu Rajab ini, pasti akan menyangka bahwa
riwayat itu musykil dan adanya perselisihan pendapat dalam menyikapi tafarrud
Hanbal bin Ishaq.
Pertama
: Abul Jauza dan wahabi lainnya yang anti takwil telah menipu
pembaca, karena kemusykilan yang dimaksud Ibnu Rajab pada redaksi di atas
adalah kemusykilan riwayat Hanbal dalam bab shalat bukan bab takwil, meskipun
Abul Jauza di akhir menulis embel-embel “(saat membahas permasalahan pakaian
dalam shalat)”, tetap itu bentuk kesengajaan untuk menggiring pembaca pada apa
yang dimauinya. Dalam hal ini sudah saya bahas pada artikel saya yang pertama.
Kedua : Abul Jauza telah menipu pembaca dengan tidak menampilkan ucapan
Ibnu Rajab selanjutnya yang merupakan kesimpulan dari Ibnu Rajab sendiri.
Seolah
terhenti sampai di situ saja dan memaksakan kesan seolah perselisihan itu tidak
ada sikap selanjutnya dalam madzhab hanbali. Berikut redaksi lengkapnya yang
tidak ditampilkan Abul Jauza dan para penentang takwil lainnya :
ولكن اعتمد الأصحاب على هذه الرواية ، ثم
اختلفوا في معناها : فقال القاضي أبو يعلى ومن اتبعه: من وجد ما يستر به منكبيه أو
عورته ولا يكفي إلا أحدهما فإنه يستر عورته ، ويصلي جالسا.
“ Akan tetapi para ulama Hanabilah memegang
kuat riwayat tersebut, kemudian berbeda pendapat tentang maknanya; Al-Qadhi Abu
Ya’la dan ulam yang mengikutinya berkata “ Orang yang menukan pakaian yang
menutup kedua pundak atau auratnya akan tetapi tidak mencukupi salah satunya,
maka ia gunakan untuk menutupi auratnya saja dan sholat dengan cara duduk.
" (Fathul Bari, Ibnu Rajab juz II halaman : 367-368 cetakan kedua,
Dar Ibnul Jauzi 1422 H dengan Tahqiq Abu Mu’adz Thariq bin ‘Iwadillah bin
Muhammad)
Dalam
komentar Ibnu Rajab selanjutnya ini sangatlah jelas, bahwa para ashab hanabilah
(ulama hanbali) menerima riwayat tersebut (bukan menolaknya). Artinya para
ashab hanabilah menerima riwayat tafarrud Hanbal dalam bab shalat ini, mereka tidak
menolaknya. Namun oleh wahabi redaksi ini tidak ditampilkannya untuk
menyembunyikan fakta kebenarannya. Inilah penipuan yang sangat nyata dari
mereka. Naudzu billahi min dzaalik..
b.
Abul Jauza mengatakan dan diikuti oleh Muhammad Anshorullah yang semuanya itu
dinukil dari artikel di situs2 penenteng takwil :
Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
وخرجوا عن أحمد من رواية
حنبل عنه في قوله تعالى : { وجاء ربك } أن المراد : وجاء أمر ربك . وقال ابن حامد
: رأيت بعض أصحابنا حكى عن أبي عبد الله الإتيان ، أنه قال : تأتي قدرته ، قال :
وهذا على حدَّ التوهم من قائله ، وخطأ في إضافته إليه
"Dan
mereka mengeluarkan riwayat dari Ahmad, yang berasal dari periwayatan Hanbal
(bin Ishaaq) darinya, tentang firman-Nya ta’ala : ‘'Dan telah datang tuhan-Mu'
(QS. Al-Fajr : 22), bahwasannya yang dimaksudkan adalah : ‘Dan telah datang
ketetapan dari Rabbmu’. Telah berkata Ibnu Haamid : 'Aku melihat sebagian
shahabat kami (yaitu ulama Hanaabilah) menghikayatkan dari Abu 'Abdillah (Ahmad
bin Hanbal) tentang sifat al-ityaan (kedatangan), ia berkata : 'datang
kekuasaan-Nya'. Ibnu Haamid berkata : 'Ini adalah wahm dari orang yang
mengatakannya (yaitu perawinya) dan kekeliruan dalam penyandaran terhadap Ahmad
bin Hanbal" [Fathul-Baariy, 9/279].
Dengan
bukti adanya ta’arudl dan pengingkaran sebagian ulama muhaqqiqiin terhadap
riwayat ghariib Hanbal di atas, maka bukan tidak mungkin Hanbal telah keliru
dalam membawakan riwayat, sehingga riwayat tersebut munkar. Bahkan inilah yang
benar, wallaahu a’lam.
Lantas,
manakah bukti valid Wahabi telah melakukan penipuan dan kecurangan ?. Apakah
anggapan kecurangan dan penipuan itu hanyalah disebabkan kurang bisa mencerna
bahasan ?.
Selain
itu, dapat kita lihat bahwa yang menta’lil riwayat Hanbal itu adalah para ulama
yang hidup ratusan tahun sebelum Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab At-Tamiimiy
rahimahullah. Wahabi-kah mereka ?
Wallaahul-musta’aan.
Saya
jawab :
Lagi-lagi
Abul Jauza dan wahabi lainnya tidak amanat di dalam menukil redaksi Ibnu Rajab
tersebut, mereka tidak menukilnya secara utuh dan lengkap. Mungkin ini sudah
menjadi kebiasaan mereka atau memang tidak bisa mencerna bahasan (ahdaatsul
asnaan sufahaaul ahlaam)??
Berikut
redaksi utuhnya yang mereka potong-potong
:
أهل الحديث في النزول على ثلاث فرق : فرقة منهم
، تجعل النزول من الأفعال الاختيارية التي يفعلها الله بمشيئته وقدرته ، وهو
المروي عن ابن المبارك ونعيم بن حماد وإسحاق بن راهويه وعثمان الدارمي . وهو قول
طائفة من أصحابنا ، ومنهم : من يصرح بلوازم ذلك من إثبات الحركة . وقد صنف بعض
المحدثين المتأخرين من أصحابنا مصنفاً في إثبات ذلك ، ورواه عن الامام أحمد من
وجوه كلها ضعيفة ، لا يثبت عنه منها شيء . وهؤلاء ؛ منهم من يقول : ينزل بذاته ، كابن
حامد من أصحابنا . وقد كان الحافظ إسماعيل من التميمي الأصبهاني الشافعي يقول بذلك
، وجرى بينه وبين طائفة من أهل الحديث بسببه فتنة وخصام . قال الحافظ أبو موسى
المديني : كان من اعتقاد الإمام إسماعيل أن نزول الله تعالى بالذات ، وهو مشهور من
مذهبه ؛ لكنه تكلم في حديث نعيم بن حماد الذي رواه بإسناده في النزول بالذات .
قالَ : وهو إسناد مدخول ، وفيه مقال ، وفي بعض رواته مطعن ، ولا تقع بمثله الحجة ،
فلا يجوز نسبة قوله إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – .
والفرقة الثانية : تقول : إن النزول إنما هوَ
نزول الرحمة . ومنهم من يقول : هوَ إقبال الله على عباده ، وإفاضة الرحمة والإحسان
عليهم . ولكن ؛ يرد ذَلِكَ : تخصيصه بالسماء الدنيا ، وهذا نوع من التأويل لأحاديث
الصفات . وقد مال إليه في حديث النزول خاصة طائفة من أهل الحديث ، منهم : ابن
قتيبة والخطابي وابن عبد البر . وقد تقدم عن مالك ، وفي صحته عنه نظر . وقد ذهب
إليه طائفة ممن يميل إلى الكلام من أصحابنا ، وخرجوه
عن أحمد من رواية حنبل عنه في قوله تعالى : { وَجَاءَ رَبُّكَ } [الفجر: 22] ، أن
المراد : وجاء أمر ربك . وقال ابن حامد : رأيت بعض أصحابنا حكى عن أبي عبد الله في
الإتيان ، أنه قال : تأتي قدرته . قال : وهذا على حد الوهم من قائله ، وخطأ في
إضافته إليه . وقد روي فيه حديث موضوع : (( إن نزول الله تعالى إقبال
على الشيء من غير نزول )) . وذكره ابن الجوزي في (( الموضوعات )) . قلت :وهذا الحديث مقابل لحديث نعيم بن حماد الذي رواه في النزول
بالذات. وكلاهما باطل ، ولا يصح
.
“ Ahli hadits dalam
menyikapi sifat nuzul Allah terbagi menjadi tiga kelompok : kelompok pertama menjadikan
sifat nuzul itu termasuk af’al ikhtiyariyyah yang Allah lakukan sekehendak-Nya.
Ini diriwayatkan dari Ibnu al-Mubarak, Nu’aim bin Hammad, Ishaq bin Rahawih dan
Utsman ad-Darimi, dan ini juga pendapat sebagian ashab kami. Di antara kelompok
ini ada yang terang-terangan adanya kelaziman itu berupa penetapan sifat
bergerak. Sebagian ahli hadits muta’akhir dari ashab kami menulis beberapa
karya di dalam menetapkan hal itu. Dan meriwayatkannya dari imam Ahmad dari
beberapa sudut yang keseluruhannya adalah dhaif sedikitpun tidak ada yang
tsabit darinya. Dan dari mereka ada yang berpendapat bahwa Allah turun dengan
dzat-Nya seprti Ibnu Hamid dari ashab kami. Dan juga al-Hafidz Ismail at-Tamimi
al-Ashbihani asy-Syafi’I mengatakan hal yang sama sehingga terjadi fitnah dan
perseteruan dengan ahli hadits lainnya. Abu Musa al-Madini berkata : “ Konon di
antara I’tiqad imam Ismail meyakini turunnya Allah dengan Dzat-Nya dan ini
masyhur dari madzhabnya (pemikirannya), akan tetapi ia mempermasalahkan hadits
Nu’aim bin Hammad yang ia riwayatkan dengan isnadanya tentangng sifat turunnya
Allah dengan Dzat, Ia (Ismail) berkata : “ Dalam isnadnya ada madkhul dan permasalahan
sebagian rowinya dipermasalahkan, tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan tidak
boleh menisbatkannya kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam “..
Kelompok kedua mengatakan
sesungguhnya sifat nuzul Allah yang dimaksud adalah sifat nuzul rahmat-Nya. Di
antara mereka ada yang mengataka : “ Itu adalah penghadapan Allah kepada
hamba-Nya serta curahan rahmat dan ihsan kepada hamba-Nya. Akan tetapi ia
menolak pengkhususan di langit dunia saja. Ini adalah satu macam dari takwil
terhadap ayat-ayat shifat. Sungguh telah condong kepada hal ini sekelompok dari
ahli hadits di antaranya : Ibnu Qutaibah, al-Khtathabi dan Ibnu Abdil Bar. Dan
telah berlalu juga dari imam Malik dan kesahihannya darinya masih perlu
diteliti. Dan sungguh sebagian ashab kami dari kalangan ahli kalam condong
terhadap hal ini, dan mereka telah mentakhrij dari imam Ahmad melalui riwayat
Hanbal tentang firman Allah Ta’aala : “ Dan telah datang Tuhanmu “, (al-Fajr
: 22) bahwa yang dimaksud adalah “ Telah datang perintah Tuhanmu “. Ibnu Hamid
berkata : “ Aku melihat sebagian ashab kami meriwayatkan dari imam Ahmad
tentang sifat datangnya Allah bahwasanya beliau mentakwilnya : dengan datang
kekuasaan Allah, ia berkata “ Ini hanyalah sekedar tawahhum / dugaan dari
pengucapnya, dan suatu kesalahan di dalam menisbatkan ucapan itu kepadanya “. Dan
sunggguh telah diriwayatkan hadits maudhu’ tentangnya. Ibnu al-jauzi
menyebutkannya di dalam madhuu’aat. Aku (Ibnu Rajab) katakan : “ Hadits ini
sama dengan hadits Nu’aim bin Hammad yang ia riwayatkannya di dalam sifat
turunnya Allah dengan Dzat, dan keduanya adalah bathil tidak sah “. (Selesai, walaupun sebenarnya masih panjang pembhasan
beliau)
Pertama
: Di sini sangat jelas, posisi Ibnu Rajab sedang menukil pendapat-pendapat
para ulama terutama hanabilah tentang hadits nuzul Allah. Dan beliau juga
menyebutkan beberapa kelompok hanabilah dalam hal ini. Jika kita lihat nukilan
beliau di atas, maka dapat kita pahami bahwa beliau menolak keras kelompok yang
berpendapat bahwa Allah turun ke langit dunia dengan Dzat-Nya, beliau mengatakan
hadits tersebut palsu, padahal wahabi ada yang beraqidahkan seperti ini.
Kedua : Ibnu Rajab menjelaskan beberapa kelompok dari para ulama
terutama hanabilah yang juga melakukan takwil terhadap sebagian ayat shifat,
dan beliau sama sekali tidak mencelanya. Ini bukti bahwa dalam madzhab Hanbali
takwil juga diterapkan. Tidak seperti sangkaan wahabi, saya nanti akan
menyebutkan puluhan ulama hanabilah yang melakukan takwil yang tersebut dalam
kitab-kitab mereka (hanabilah).
Ketiga
: Dari nukilan riwayat Hanbal tentang imam Ahmad mentakwil “
Telah datang Tuhanmu “ dengan “ Telah datang perintah Tuhanmu “, beliau Ibnu
Rajab sama sekali tidak menolak ucapan Hanbal bin ishaq bahkan tidak melemahkan
riwayat tersebut. Coba perhatikan lagi :
“ Dan sungguh
sebagian ashab kami dari kalangan ahli kalam condong terhadap hal ini, dan
mereka telah mentakhrij dari imam Ahmad melalui riwayat Hanbal tentang firman
Allah Ta’aala : “ Dan telah datang Tuhanmu “, (QS. al-Fajr : 22) bahwa yang
dimaksud adalah “ Telah datang perintah Tuhanmu “.
Adakah
setelahnya Ibnu Rajab menolak riwayat ini ? dan mendhaifkan riwayat tersebut
seperti sangkaan wahabi yang membabi buta ?? jawabannya : Tidak, wahabilah yang
telah berdusta.
Keempat
: Yang ditolak dan dikritiki oleh Ibnu Hamid adalah riwayat
berikut yang dinukil Ibnu Rajab setelahnya yaitu takwil “
Telah datang perintah Tuhanmu “. Coba renungkan dan
perhatikan lagi :
Ibnu Hamid berkata :
“ Aku melihat sebagian ashab kami meriwayatkan dari imam Ahmad tentang isfat
datangnya Allah bahwasanya beliau mentakwilnya : dengan datang kekuasaan Allah,
ia berkata “ Ini hanyalah sekedar tawahhum / dugaan dari pengucapnya, dan suatu
kesalahan di dalam menisbatkan ucapan itu kepadanya “.
Sedangkan
yang disahihkan imam Baihaqi sehingga dikatakan sanadnya sangat bersih “ Laa
ghubaara ‘alaih “ dan dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Katisr adalah bukan riwayat
tersebut, melainkan riwayat yang berbunyi : “ Telah datang
pahala Tuhanmu “. Sangat berbeda dengan riwayat di
atas. Maka dari penjelasan Ibnu Rajab dan Ibnu Katsir ada beberapa riwayat
takwil dari imam Ahmad berkaitan sifat nuzulnya Allah berikut :
Ada
riwayat takwil yang menyebutkan “ Telah
datang perintah Tuhanmu “, ada riwayat takwil
yang menyebutkan “ Telah datang kekuasaan
Tuhanmu “ dan terakhir riwayat dari imam
Baihaqi yaitu “ Telah datang pahala Tuhanmu “. Dan yang didhaifkan oleh Ibnu Hamid adalah riwayat yang kedua
bukan yang pertama apalagi yang ketiga yang sanadnya bersih tidak ada cacatnya.
Maka
hujjah wahabi yang mengtakan bahwa Ibnu Rajab mendhaifkan riwayat takwil imam
Ahmad yang diriwayatkan imam Baihaqi adalah mengada-ngada dan menipu atas nama
Ibnu Rajab. Dan dari penjelasan di atas, tidak terbukti sama sekali Ibnu Rajab
melemahkan riwayat takwil imam Ahmad melalui Hanbal. Beginikah cara berhujjah
wahabi ??
Bersambung ke bagian III, saya akan
mengupas kalam adz-Dzhahabi tentang gharib yang dijadikan hujjah oleh wahabi
(anti takwil), dan mengurai sejarah konflik dalam madzhab Hanbali serta
menyebutkan takwil-takwil yang dilakukan puluhan ulama Hanabilah.
Salam :
Shofiyyah An-Nuuriyyah, 24-02-2013