Sabtu, 30 Juni 2012

Seri Kontra Wahabi (5): BukanAhlussunnah

Mereka Golongan Khawarij
Mayoritas umat Islam meyakini
bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah
itu pengikut madzhab al-Asy’ari
dan al-Maturidi. Tetapi tidak sedikit
pula yang berasumsi bahwa aliran
Wahhabi juga masuk dalam
golongan Ahlussunnah Wal-
Jama’ah. Padahal menurut para
ulama yang otoritatif di kalangan
Sunni, aliran Wahhabi itu tergolong
Khawarij, bukan Ahlussunnah Wal-
Jama’ah.
Dalam sebuah diskusi tentang
ASWAJA di Kantor PWNU Jawa
Timur di Surabaya, ada
pembicaraan mengenai Wahhabi,
apakah termasuk Ahlussunnah
Wal-Jama’ah atau bukan. Dalam
kesempatan itu saya menjelaskan
bahwa aliran Wahhabi atau Salafi
itu bukan Ahlussunnah Wal-
Jama’ah. Bahkan aliran Wahhabi itu
termasuk golongan Khawarij.
Mendengar penjelasan ini, sebagian
peserta ada yang bertanya,
“Mengapa aliran Wahhabi Anda
masukkan dalam golongan
Khawarij? Bukankah mereka juga
berpedoman dengan kitab-kitab
hadits yang menjadi pedoman kita
seperti Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim dan lain-lain?”
Aliran Wahhabi itu dikatakan
Khawarij karena ada ajaran penting
di kalangan Khawarij menjadi
ajaran Wahhabi, yaitu takfir al-
mukhalif dan istihlal dima’ al-
mukhalifin (mengkafirkan dan
menghalalkan darah kaum
Muslimin yang berbeda dengan
mereka). Suatu kelompok
dikatakan keluar dari Ahlussunnah
Wal-Jama’ah, tidak harus berbeda
100 % dengan Ahlussunnah Wal-
Jama’ah. Kaum Khawarij pada
masa sahabat dulu dikatakan
Khawarij bukan semata-mata
karena perlawanan mereka
terhadap kaum Muslimin, akan
tetapi karena perlawanan mereka
terhadap Sayyidina Ali
dilatarbelakangi oleh motif ideologi
yaitu takfir dan istihlal dima’ al-
mukhalifin (pengkafiran dan
pengahalalan darah kaum Muslimin
yang berbeda dengan mereka).
Sayyidah ‘Aisyah, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin al-’Awwam
dan banyak sahabat yang lain juga
memerangi Sayidina Ali. Sayidina
Mu’awiyah bin Abi Sufyan juga
memerangi Sayidina Ali. Akan
tetapi karena latar belakang
peperangan mereka bukan motif
ideologi, tetapi karena semata-
mata karena persoalan politik,
maka mereka tidak dikatakan
Khawarij.
Persoalan bahwa kaum Wahhabi
juga merujuk terhadap kitab-kitab
tafsir dan hadits yang menjadi
rujukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah,
hal ini bukan alasan menganggap
mereka sebagai Ahlussunnah Wal-
Jama’ah. Kalau kita mempelajari
ilmu rijal hadits, dalam Shahih al-
Bukhari, Muslim dan lain-lain, tidak
sedikit para perawi hadits yang
mengikuti aliran Syi’ah, Khawarij,
Murji’ah, Qadariyah dan lain-lain.
Para ulama kita, termasuk dari
kalangan ahli hadits, sangat toleran
dengan siapapun, sehingga tidak
menghalangi menerima hadits-
hadits yang diriwayatkan oleh para
perawi ahli bid’ah untuk
dimasukkan dalam kitab-kitab
mereka dan kemudian menjadi
rujukan utama kaum Muslimin
Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kalau
setiap orang yang merujuk
terhadap Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim dan kitab-kitab hadits
lainnya harus dimasukkan dalam
golongan Ahlussunnah Wal-
Jama’ah, maka kita tentunya harus
pula memasukkan semua perawi
hadits al-Bukhari dan lain-lain
dalam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Padahal faktanya tidak demikian.
Bersama Ulama Wahhabi
Alasan utama mengapa aliran
Wahhabi dikatakan Khawarij dan
bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah,
adalah paradigma pemikirannya
yang mengusung konsep takfir dan
istihlal dima’ wa amwal al-
mukhalifin (pengkafiran dan
penghalalan darah dan harta
benda kaum Muslimin di luar
alirannya). Dalam sebuah diskusi di
PCNU Sumenep, pada 22 Mei 2010,
tentang aliran Syi’ah dan Wahhabi,
seorang ulama Wahhabi kelahiran
Sumatera dan sekarang tinggal di
Jember, berinisial AMSP menggugat
pernyataan saya, bahwa Wahhabi
mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin di luar
mereka. Ia mengatakan:
“Wahhabi itu Ahlussunnah Wal-
Jama’ah, bukan Khawarij. Karena
Wahhabi tidak mengkafirkan dan
menghalalkan darah kaum
Muslimin yang berbeda dengan
dirinya.” Mendengar pernyataan
tersebut saya katakan: “Bahwa
Wahhabi itu mengkafirkan dan
menghalalkan darah kaum
Muslimin, itu bukan kata saya.
Tetapi itu pernyataan Syaikh
Muhammad, pendiri aliran
Wahhabi.
Misalnya Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab berkata:
“Aku pada waktu itu tidak
mengerti makna la ilaha illallah dan
tidak mengerti agama Islam,
sebelum kebaikan yang
dianugerahkan oleh Allah.
Demikian pula guru-guruku, tidak
seorang pun di antara mereka
yang mengetahui hal tersebut.
Barangsiapa yang berasumsi di
antara ulama Aridh (Riyadh) bahwa
ia mengetahui makna la ilaha
illallah atau mengetahui makna
Islam sebelum waktu ini, atau
berasumsi bahwa di antara guru-
gurunya ada yang mengetahui hal
tersebut, berarti ia telah berdusta,
mereka-reka (kebohongan),
menipu manusia dan memuji
dirinya dengan sesuatu yang tidak
dimilikinya.” (Ibn Ghannam, Tarikh
Najd hal. 310).
Dalam pernyataan di atas, jelas
sekali Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab menyatakan bahwa
sebelum ia menyebarkan faham
Wahhabi, ia sendiri tidak mengerti
makna kalimat la ilaha illallah dan
tidak mengerti agama Islam.
Bahkan tidak seorang pun dari
guru-gurunya dan ulama manapun
yang mengerti makna kalimat la
ilaaha illallah dan makna agama
Islam. Pernyataan ini menunjukkan
bahwa Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab mengkafirkan guru-
gurunya, semua ulama dan
mengkafirkan dirinya sebelum
menyebarkan faham Wahhabi.
Pernyataan tersebut ditulis oleh
muridnya sendiri, Syaikh Ibn
Ghannam dalam Tarikh Najd hal.
310.
Dalam kitab Kasyf al-Syubuhat hal.
29-30, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab berkata:
“Ketahuilah bahwa kesyirikan
orang-orang dulu lebih ringan dari
pada kesyirikan orang-orang masa
kita sekarang ini.” Maksudnya
kaum Muslimin di luar golongannya
itu telah syirik semua. Kesyirikan
mereka melebihi kesyirikan orang-
orang Jahiliyah. Sebagaimana ia
tulis dalam kitab Kasyf al-
Syubuhat, kitab pendiri Wahhabi
yang paling ekstrem dan paling
keras dalam mengkafirkan seluruh
kaum Muslimin selain golongannya.
Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah fi
al-Ajwibat al-Najdiyyah, kumpulan
fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak
masa pendirinya, yang di-tahqiq
oleh Syaikh Abdurrahman bin
Muhammad bin Qasim, ulama
Wahhabi kontemporer, ada
pernyataan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, bahwa ilmu fiqih
dan kitab-kitab fiqih madzhab
empat yang diajarkan oleh para
ulama adalah ilmu syirik,
sedangkan para ulama yang
menyusunnya adalah syetan-
syetan manusia dan jin. (Al-Durar
al-Saniyyah, juz 3 hal. 56).
Pernyataan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab ini berarti
pembatalan dan pengkafiran
terhadap kaum Muslimin yang
mengikuti madzhab fiqih yang
empat.
Dalam berbagai kitab dan
risalahnya, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab selalu menyebutkan
kalimat-kalimat yang ditujukan
kepada orang-orang musyrik.
Namun ia tidak pernah menyebut
seorang pun nama orang musyrik
yang menjadi lawan polemiknya
dalam kitab-kitab dan tulisannya.
Justru yang ia sebutkan adalah
nama-nama para ulama
terkemuka pada waktu itu seperti
Syaikh Ibn Fairuz, Marbad al-
Tamimi, Ibn Suhaim, Syaikh
Sulaiman dan ulama-ulama
lainnya. Maksudnya, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
mengkafirkan seluruh ulama pada
waktu itu yang tidak mengikuti
ajarannya. Bahkan secara terang-
terangan, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab menyebutkan
dalam kitab Kasyf al-Syubuhat,
bahwa kaum Muslimin pada waktu
itu telah memilih mengikuti
agamanya Amr bin Luhay al-
Khuza’i, orang yang pertama kali
mengajak orang-orang Arab
memuja berhala.
Pengkafiran terhadap kaum
Muslimin terus dilakukan oleh
ulama Wahhabi dewasa ini. Dalam
kitab Kaifa Nafhamu al-Tauhid,
karangan Muhammad bin Ahmad
Basyamil, disebutkan:
ﻋَﺠِﻴْﺐٌ ﻭَﻏَﺮِﻳْﺐٌ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﺃَﺑُﻮْ ﺟَﻬْﻞٍ ﻭَﺃَﺑُﻮْ
ﻟَﻬَﺐٍ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﺗَﻮْﺣِﻴْﺪًﺍ ﻟﻠﻪِ ﻭَﺃَﺧْﻠَﺺَ ﺇِﻳْﻤَﺎﻧًﺎ ﺑِﻪِ
ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﻳَﺘَﻮَﺳَّﻠُﻮْﻥَ ﺑِﺎْﻷَﻭْﻟِﻴَﺎﺀِ
ﻭَﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻭَﻳَﺴْﺘَﺸْﻔِﻌُﻮْﻥَ ﺑِﻬِﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ.
ﺃَﺑُﻮْ ﺟَﻬْﻞٍ ﻭَﺃَﺑُﻮْ ﻟَﻬَﺐٍ ﺃَﻛْﺜَﺮُ ﺗَﻮْﺣِﻴْﺪًﺍ ﻭَﺃَﺧْﻠَﺺُ
ﺇِﻳْﻤَﺎﻧًﺎ ﻣِﻦْ ﻫَﺆُﻻَﺀِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ
ﻳَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٌ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ.
)ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﺎﺷﻤﻴﻞ، ﻛﻴﻒ ﻧﻔﻬﻢ
ﺍﻟﺘﻮﺣﻴﺪ، ﺹ.(١٦/
“Aneh dan ganjil, ternyata Abu
Jahal dan Abu Lahab lebih banyak
tauhidnya kepada Allah dan lebih
murni imannya kepada-Nya dari
pada kaum Muslimin yang
bertawassul dengan para wali dan
orang-orang saleh dan memohon
pertolongan dengan perantara
mereka kepada Allah. Ternyata
Abu Jahal dan Abu Lahab lebih
banyak tauhidnya dan lebih tulus
imannya dari mereka kaum
Muslimin yang mengucapkan tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad
Rasul Allah.” (Muhammad bin
Ahmad Basyamil, Kaifa Nafhamu
al-Tauhid, hal. 16).
Dalam pernyataan tersebut,
Basyamil menganggap bahwa
kaum Muslimin selain Wahhabi,
lebih syirik dari pada Abu Jahal dan
Abu Lahab. Kitab karya Basyamil
ini dibagi-bagikan secara gratis oleh
tokoh-tokoh Wahhabi kepada
siapapun yang berminat. Demikian
dialog saya dengan AMSP yang
tidak berjalan lama. Karena ia
minta agar dialog segera diakhiri.
Mereka Ahli Bid’ah Abad Modern
Dalam sebuah diskusi di Surabaya
tentang status Wahhabi sebagai
golongan Khawarij, ada seorang
teman bertanya: “Mengapa Anda
memasukkan Wahhabi ke dalam
golongan Khawarij? Apa bukti-
buktinya?”. Teman kita ini
sepertinya keberatan sekali kalau
Wahhabi dimasukkan ke dalam
golongan Khawarij. Akhirnya pada
waktu itu saya berusaha
meyakinkan semua peserta diskusi
yang hadir, dengan memberikan
penjelasan bahwa kita
mengganggap Wahhabi sebagai
Khawarij, karena semua ulama
Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang
otoritatif (mu’tabar) di kalangan
pesantren mengatakan demikian.
Dari kalangan ulama madzhab al-
Maliki, al-Imam Ahmad bin
Muhammad al-Shawi al-Maliki,
ulama terkemuka abad 12 Hijriah
dan semasa dengan pendiri
Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah
‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai
berikut:
ﻫَﺬِﻩِ ﺍْﻵَﻳَﺔُ ﻧَﺰَﻟَﺖْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺨَﻮَﺍﺭِﺝِ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ
ﻳُﺤَﺮِّﻓُﻮْﻥَ ﺗَﺄْﻭِﻳْﻞَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ
ﻭَﻳَﺴْﺘَﺤِﻠُّﻮْﻥَ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺩِﻣَﺎﺀَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ
ﻭَﺃَﻣْﻮَﺍﻟَﻬُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﻣُﺸَﺎﻫَﺪٌ ﺍْﻵَﻥَ ﻓِﻲْ
ﻧَﻈَﺎﺋِﺮِﻫِﻢْ ﻭَﻫُﻢْ ﻓِﺮْﻗَﺔٌ ﺑِﺄَﺭْﺽِ ﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺯِ ﻳُﻘَﺎﻝُ
ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺑِﻴَّﺔُ ﻳَﺤْﺴَﺒُﻮْﻥَ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻋَﻠﻰَ ﺷَﻲْﺀٍ
ﺃَﻻَ ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺑُﻮْﻥَ. )ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺼﺎﻭﻱ
ﻋﻠﻰ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﺠﻼﻟﻴﻦ، .(٣/٣٠٧
“Ayat ini turun mengenai orang-
orang Khawarij, yaitu mereka yang
mendistorsi penafsiran al-Qur’an
dan Sunnah, dan oleh sebab itu
mereka menghalalkan darah dan
harta benda kaum Muslimin
sebagaimana yang terjadi dewasa
ini pada golongan mereka, yaitu
kelompok di negeri Hijaz yang
disebut dengan aliran Wahhabiyah,
mereka menyangka bahwa
mereka akan memperoleh sesuatu
(manfaat), padahal merekalah
orang-orang pendusta.” (Hasyiyah
al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3,
hal. 307).
Dari kalangan ulama madzhab
Hanafi, al-Imam Muhammad Amin
Afandi yang populer dengan
sebutan Ibn Abidin, juga berkata
dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-
Muhtar sebagai berikut:
“ﻣَﻄْﻠَﺐٌ ﻓِﻲ ﺃَﺗْﺒَﺎﻉِ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ
ﺍﻟْﺨَﻮَﺍﺭِﺝِ ﻓِﻲْ ﺯَﻣَﺎﻧِﻨَﺎ :ﻛَﻤَﺎ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲْ
ﺯَﻣَﺎﻧِﻨَﺎﻓِﻲْ ﺃَﺗْﺒَﺎﻉِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ
ﺧَﺮَﺟُﻮْﺍ ﻣِﻦْ ﻧَﺠْﺪٍ ﻭَﺗَﻐَﻠَّﺒُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﺮَﻣَﻴْﻦِ
ﻭَﻛَﺎﻧُﻮْﺍﻳَﻨْﺘَﺤِﻠُﻮْﻥَ ﻣَﺬْﻫَﺐَ ﺍﻟْﺤَﻨَﺎﺑِﻠَﺔِ ﻟَﻜِﻨَّﻬُﻢْ
ﺍِﻋْﺘَﻘَﺪُﻭْﺍ ﺃَﻧَّﻬُﻢْ ﻫُﻢُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﻭَﺃَﻥَّ ﻣَﻦْ
ﺧَﺎﻟَﻔَﺎﻋْﺘِﻘَﺎﺩَﻫُﻢْ ﻣُﺸْﺮِﻛُﻮْﻥَ ﻭَﺍﺳْﺘَﺒَﺎﺣُﻮْﺍ
ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﻗَﺘْﻞَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﻭَﻗَﺘْﻞَ ﻋُﻠَﻤَﺎﺋِﻬِﻢْ
ﺣَﺘَﻰ ﻛَﺴَﺮَ ﺍﻟﻠﻬُﺸَﻮْﻛَﺘَﻬُﻢْ ﻭَﺧَﺮَﺏَ ﺑِﻼَﺩَﻫُﻢْ
ﻭَﻇَﻔِﺮَ ﺑِﻬِﻢْ ﻋَﺴَﺎﻛِﺮُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﻋَﺎﻡَ ﺛَﻼَﺙٍ
ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴْﻦَ ﻭَﻣِﺎﺋَﺘَﻴْﻨِﻮَﺃَﻟْﻒٍ”. ﺍﻫـ )ﺍﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ،
ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺭﺩ ﺍﻟﻤﺤﺘﺎﺭ، .(٤/٢٦٢
“Keterangan tentang pengikut
Muhammad bin Abdul Wahhab,
kaum Khawarij pada masa kita.
Sebagaimana terjadi pada masa
kita, pada pengikut Ibn Abdil
Wahhab yang keluar dari Najd dan
berupaya keras menguasai dua
tanah suci. Mereka mengikuti
madzhab Hanabilah. Akan tetapi
mereka meyakini bahwa mereka
saja kaum Muslimin, sedangkan
orang yang berbeda dengan
keyakinan mereka adalah orang-
orang musyrik. Dan oleh sebab itu
mereka menghalalkan membunuh
Ahlussunnah dan para ulamanya
sampai akhirnya Allah memecah
kekuatan mereka, merusak negeri
mereka dan dikuasai oleh tentara
kaum Muslimin pada tahun 1233
H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-
Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz
4, hal. 262).
Dari kalangan ulama madzhab
Hanbali, al-Imam Muhammad bin
Abdullah bin Humaid al-Najdi
berkata dalam kitabnya al-Suhub
al-Wabilah ‘ala Dharaih al-
Hanabilah ketika menulis biografi
Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri
Wahhabi, sebagai berikut:
ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ ﺑْﻦُ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥَ ﺍﻟﺘَّﻤِﻴْﻤِﻲُّ
ﺍﻟﻨَّﺠْﺪِﻱُّ ﻭَﻫُﻮَ ﻭَﺍﻟِﺪُ ﺻَﺎﺣِﺐِ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ
ﺍﻧْﺘَﺸَﺮَﺷَﺮَﺭُﻫَﺎ ﻓِﻲ ﺍْﻷَﻓَﺎﻕِ ﻟَﻜِﻦْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ
ﺗَﺒَﺎﻳُﻦٌ ﻣَﻊَ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻈَﺎﻫَﺮْ ﺑِﺎﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ
ﺇِﻻَّ ﺑَﻌْﺪَﻣَﻮْﺕِ ﻭَﺍﻟِﺪِﻩِ ﻭَﺃَﺧْﺒَﺮَﻧِﻲْ ﺑَﻌْﺾُ ﻣَﻦْ
ﻟَﻘِﻴْﺘُﻪُ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻋَﻤَّﻦْ ﻋَﺎﺻَﺮَ
ﺍﻟﺸَّﻴْﺦَ ﻋَﺒْﺪَﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ ﻫَﺬَﺍ ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻏَﺎﺿِﺒًﺎ
ﻋَﻠﻰَ ﻭَﻟَﺪِﻩِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻟِﻜَﻮْﻧِﻪِ ﻟَﻢْ ﻳَﺮْﺽَ ﺃَﻥْ
ﻳَﺸْﺘَﻐِﻞَ ﺑِﺎﻟْﻔِﻘْﻬِﻜَﺄَﺳْﻼَﻓِﻪِ ﻭَﺃَﻫْﻞِ ﺟِﻬَﺘِﻪِ
ﻭَﻳَﺘَﻔَﺮَّﺱُ ﻓِﻴْﻪ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺤْﺪُﺙُ ﻣِﻨْﻪُ ﺃَﻣْﺮٌ. ﻓَﻜَﺎﻥَ
ﻳَﻘُﻮْﻝُ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ: ﻳَﺎ ﻣَﺎ ﺗَﺮَﻭْﻥَ ﻣِﻦْ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻣِﻦَ
ﺍﻟﺸَّﺮِّ ﻓَﻘَﺪَّﺭَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻥْ ﺻَﺎﺭَ ﻣَﺎﺻَﺎﺭَ ﻭَﻛَﺬَﻟِﻚَ ﺍﺑْﻨُﻪُ
ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥُ ﺃَﺧُﻮْ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﻨَﺎﻓِﻴًﺎ ﻟَﻪُ ﻓِﻲْ
ﺩَﻋْﻮَﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺩَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺭَﺩًّﺍ ﺟَﻴِّﺪﺍًﺑِﺎْﻵَﻳﺎَﺕِ ﻭَﺍْﻵَﺛﺎَﺭِ
ﻭَﺳَﻤَّﻰ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦُ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥُ ﺭَﺩَّﻩُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ) ﻓَﺼْﻞُ
ﺍﻟْﺨِﻄَﺎﺏِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺩِّ ﻋَﻠﻯَﻤُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ
ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ ( ﻭَﺳَﻠَّﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّﻩِ ﻭَﻣَﻜْﺮِﻩِ
ﻣَﻊَ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟﺼَّﻮْﻟَﺔِ ﺍﻟْﻬَﺎﺋِﻠَﺔِ ﺍﻟَّﺘِﻴْﺄَﺭْﻋَﺒَﺖِ ﺍْﻷَﺑَﺎﻋِﺪَ
ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ ﺑَﺎﻳَﻨَﻪُ ﺃَﺣَﺪٌ ﻭَﺭَﺩَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻘْﺪِﺭْ
ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺘْﻠِﻪِ ﻣُﺠَﺎﻫَﺮَﺓًﻳُﺮْﺳِﻞُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻣَﻦْ ﻳَﻐْﺘَﺎﻟُﻪُ
ﻓِﻲْ ﻓِﺮَﺍﺷِﻪِ ﺃَﻭْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴُّﻮْﻕِ ﻟَﻴْﻼً ﻟِﻘَﻮْﻟِﻪِ
ﺑِﺘَﻜْﻔِﻴْﺮِ ﻣَﻦْ ﺧَﺎﻟَﻔَﻬُﻮَﺍﺳْﺘِﺤْﻼَﻝِ ﻗَﺘْﻠِﻪِ. ﺍﻫـ
)ﺍﺑﻦ ﺣﻤﻴﺪ ﺍﻟﻨﺠﺪﻱ، ﺍﻟﺴﺤﺐ ﺍﻟﻮﺍﺑﻠﺔ ﻋﻠﻰ
ﺿﺮﺍﺋﺢ ﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ.(٢٧٥ ،
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-
Tamimi al-Najdi, adalah ayah
pembawa dakwah Wahhabiyah,
yang percikan apinya telah
tersebar di berbagai penjuru. Akan
tetapi antara keduanya terdapat
perbedaan. Padahal Muhammad
(pendiri Wahhabi) tidak terang-
terangan berdakwah kecuali
setelah meninggalnya sang ayah.
Sebagian ulama yang aku jumpai
menginformasikan kepadaku, dari
orang yang semasa dengan Syaikh
Abdul Wahhab ini, bahwa beliau
sangat murka kepada anaknya,
karena ia tidak suka belajar ilmu
fiqih seperti para pendahulu dan
orang-orang di daerahnya. Sang
ayah selalu berfirasat tidak baik
tentang anaknya pada masa yang
akan datang. Beliau selalu berkata
kepada masyarakat, “Hati-hati,
kalian akan menemukan
keburukan dari Muhammad.”
Sampai akhirnya takdir Allah
benar-benar terjadi. Demikian pula
putra beliau, Syaikh Sulaiman
(kakak Muhammad bin Abdul
Wahhab), juga menentang
terhadap dakwahnya dan
membantahnya dengan bantahan
yang baik berdasarkan ayat-ayat
al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh
Sulaiman menamakan
bantahannya dengan judul Fashl al-
Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad
bin Abdul Wahhab. Allah telah
menyelamatkan Syaikh Sulaiman
dari keburukan dan tipu daya
adiknya meskipun ia sering
melakukan serangan besar yang
mengerikan terhadap orang-orang
yang jauh darinya. Karena setiap
ada orang yang menentangnya,
dan membantahnya, lalu ia tidak
mampu membunuhnya secara
terang-terangan, maka ia akan
mengirim orang yang akan
menculik dari tempat tidurnya atau
di pasar pada malam hari karena
pendapatnya yang mengkafirkan
dan menghalalkan membunuh
orang yang menyelisihinya.” (Ibn
Humaid al-Najdi, al-Suhub al-
Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah,
hal. 275).
Dari kalangan ulama madzhab
Syafi’i, al-Imam al-Sayyid Ahmad
bin Zaini Dahlan al-Makki, guru
pengarang I’anah al-Thalibin, kitab
yang sangat otoritatif (mu’tabar) di
kalangan ulama di Indonesia,
berkata:
ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺪُ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤﻦِ ﺍﻟْﺄَﻫْﺪَﻝُ ﻣُﻔْﺘِﻲْ
ﺯَﺑِﻴْﺪَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ: ﻻَ ﻳُﺤْﺘَﺎﺝُ ﺍﻟﺘَّﺄْﻟِﻴْﻒُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺩِّ ﻋَﻠَﻰ
ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻮَﻫَّﺎﺏِ، ﺑَﻞْ ﻳَﻜْﻔِﻲ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺩِّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻗَﻮْﻟُﻪُ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳِﻴْﻤَﺎﻫُﻢُ
ﺍﻟﺘَّﺤْﻠِﻴْﻖُ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﻔْﻌَﻠْﻪُ ﺃَﺣَﺪٌ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤُﺒْﺘَﺪِﻋَﺔِ ﺍﻫـ )ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﻨﻲ
ﺩﺣﻼﻥ، ﻓﺘﻨﺔ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﺹ.(٥٤/
“Sayyid Abdurrahman al-Ahdal,
mufti Zabid berkata: “Tidak perlu
menulis bantahan terhadap Ibn
Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi
shallallahu alaihi wa sallam cukup
sebagai bantahan terhadapnya,
yaitu “Tanda-tanda mereka
(Khawarij) adalah mencukur
rambut (maksudnya orang yang
masuk dalam ajaran Wahhabi,
harus mencukur rambutnya)”.
Karena hal itu belum pernah
dilakukan oleh seorang pun dari
kalangan ahli bid’ah.” (Sayyid
Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah al-
Wahhabiyah, hal. 54).
Demikian pernyataan ulama
terkemuka dari empat madzhab,
Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali,
yang menegaskan bahwa
golongan Wahhabi termasuk
Khawarij bukan Ahlussunnah Wal-
Jama’ah. Tentu saja masih terdapat
ratusan ulama lain dari madzhab
Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang
menyatakan bahwa Wahhabi itu
Khawarij dan tidak mungkin kami
kutip semuanya dalam diskusi kali
ini.
Dialog Sunni vs Wahhabi
Ada dialog menarik antara orang
Sunni dengan orang Wahhabi yang
akan kami kutip di sini. Namun
sebelum mengutip dialog tersebut,
ada baiknya dikutip terlebih dahulu
tulisan seorang teman di dunia
maya yang menguraikan
kesamaan Wahhabi dengan
Khawarij. Menurut teman tersebut,
ada beberapa kesamaan antara
Wahhabi dengan Khawarij.
Pertama, Khawarij telah
mengucilkan diri dari seluruh kaum
Muslimin dengan berpendapat
bahwa pelaku dosa besar itu kafir.
Dan ternyata Wahhabi juga
mengucilkan diri dari kaum
Muslimin dengan mengkafirkan
kaum Muslimin karena perbuatan
dosa menurut asumsi Wahhabi.
Kedua, Khawarij menetapkan
negara Islam yang penduduknya
melakukan dosa besar sebagai
negara harbi, yang dihalalkan
melakukan tindakan seperti yang
dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
terhadap negara harbi (darah dan
harta bendanya dihalalkan).
Demikian pula kaum Wahhabi,
akan menghukumi negara Islam
sebagai negara harbi meskipun
penduduknya orang yang paling
taat beribadah kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dan paling
saleh, apabila mereka meyakini
bolehnya bepergian berziarah ke
makam Nabi dan makam orang-
orang saleh dan meminta syafa’at
kepada mereka. Dari kedua poin ini
bisa disimpulkan bahwa Wahhabi
itu lebih buruk dari pada Khawarij.
Kaum Khawarij melihat perbuatan
yang disepakati sebagai dosa besar
oleh kaum Muslimin lalu
mengkafirkan pelakunya.
Sementara Wahhabi melihat amal-
amal yang sama sekali bukan
perbuatan dosa, bahkan termasuk
amaliah sunnat yang dilakukan
oleh generasi salaf yang saleh dari
kalangan sahabat, tabi’in dan
generasi berikutnya tanpa ada
perselisihan di kalangan ulama.
Lalu kaum Wahhabi mengkafirkan
pelaku amaliah sunat tersebut.
Ketiga, Wahhabi dan Khawarij
sama-sama ekstrem (ghuluw)
dalam beragama serta jumud
dalam memahaminya. Kaum
Khawarij ketika membaca firman
Allah subhanahu wa ta’ala “in al-
hukmu illa lillah (hukum itu
hanyalah milik Allah)”, maka
mereka mengatakan bahwa orang
yang membolehkan arbitrase telah
syirik kepada Allah subhanahu wa
ta’ala. Mereka membuat
semboyan, “la hukma illa lillah
(tidak ada hukum selain dari
Allah)”, kata-kata benar yang
disalahgunakan (kalimatu haqqin
urida biha bathilun). Pernyataan
Khawarij tersebut jelas kejumudan
dan kedangkalan berpikir. Karena
arbitrase dalam persengketaan
telah ditetapkan dalam al-Qur’an,
Sunnah, sirah Rasul shallallahu alaihi
wa sallam dan tidak bertentangan
dengan logika nalar. Demikian pula
Wahhabi, ketika mereka membaca
firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-
Mu kami memohon pertolongan”,
(QS. 1 : 5)), dan firman Allah
subhanahu wa ta’ala, “Tiada yang
dapat memberi syafa’at di sisi-Nya
tanpa izin-Nya”, (QS. 2 : 255), “Dan
mereka tiada memberi syafa’at
melainkan kepada orang yang
diridhai Allah”, (QS. 21 : 28), maka
bereka berkata: “Barangsiapa
berpendapat boleh meminta
syafa’at kepada Nabi dan orang-
orang saleh, maka ia telah syirik
kepada Allah subhanahu wa ta’ala,
dan barangsiapa yang bermaksud
ziarah ke makam Nabi dan
meminta syafa’at kepadanya,
maka ia telah menyembahnya dan
menjadikannya sebagai tuhan
selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Dari sini, kaum Wahhabi selalu
membawa slogan “Tidak ada yang
disembah selain Allah”, dan
“syafa’at hanya milik Allah”,
sebuah kalimat benar yang
disalahgunakan. Hal ini termasuk
kejumudan dan kedangkalan
dalam berpikir. Karena kebolehan
hal tersebut telah dimaklumi dari
sejarah kehidupan para sahabat,
tabi’in dan generasi sesudahnya.
Keempat, Ibn Taimiyah berkata,
“Aliran Khawarij adalah bid’ah
pertama yang muncul dalam Islam,
lalu pengikut Khawarij
mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin”. Demikian
pula Wahhabi, bid’ah terakhir
dalam Islam, pengikutnya
mengkafirkan dan menghalalkan
darah kaum Muslimin.
Kelima, hadits-hadits shahih yang
menerangkan tentang Khawarij
dan keluarnya mereka dari agama,
sebagiannya sesuai dengan aliran
Wahhabi. Dalam Shahih al-Bukhari,
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
“Akan ada sekelompok manusia
keluar dari arah timur. Mereka
membaca al-Qur’an, namun apa
yang mereka baca tidak melewati
tenggorokan mereka. Mereka
keluar dari agama sebagaimana
anak panah keluar dari
sasarannya. Tanda-tanda mereka
mencukur rambut.”
Al-Imam al-Qasthalani berkata
dalam mengomentari hadits ini,
bahwa yang dimaksud dari arah
timur adalah arah timur kota
Madinah seperti Najd dan
sesudahnya. Demikian pula
Wahhabi, lahir di Najd dan
kemudian menyebar ke mana-
mana. Di samping mencukur
rambut juga menjadi ciri khas
mereka. Kaum Wahhabi
memerintahkan orang-orang yang
mengikuti mereka agar mencukur
rambut, meskipun kaum wanita.
Oleh karena itu, sebagian ulama
yang semasa dengan lahirnya
ajaran Wahhabi berkata, “Tidak
perlu menulis bantahan terhadap
Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda
Nabi shallallahu alaihi wa sallam
cukup sebagai bantahan
terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda
mereka (Khawarij) adalah
mencukur rambut (maksudnya
orang yang masuk dalam ajaran
Wahhabi, harus mencukur
rambutnya)”. Dalam hadits lain
tentang Khawarij, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Mereka akan
membunuh umat Islam, akan
tetapi membiarkan penyembah
berhala”. Hadits ini persis dengan
aliran Wahhabi. Mereka belum
pernah mengarahkan peperangan
terhadap selain umat Islam. Dalam
sejarah mereka belum pernah
dikenal bahwa mereka mendatangi
atau bermaksud memerangi
penyembah berhala, karena hal
tersebut tidak masuk dalam prinsip
dan buku-buku mereka yang
isinya penuh dengan kecaman dan
pengkafiran terhadap umat Islam.
Al-Imam al-Bukhari juga
meriwayatkan dari Ibn Umar
dalam menjelaskan ciri-ciri kaum
Khawarij, “Mereka mengambil
ayat-ayat al-Qur’an yang turun
mengenai orang-orang kafir, lalu
mereka tuangkan kepada orang-
orang beriman”. Ibn Abbas juga
berkata: “Janganlah kalian seperti
Khawarij, memaksakan penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an untuk umat
Islam (ahlil qiblah). Padahal ayat-
ayat tersebut turun mengenai
ahlul-kitab dan orang-orang
musyrik. Mereka tidak mengetahui
ilmunya, lalu mereka mengalirkan
darah dan merampas harta benda
orang-orang Muslim”. Demikian
pula kaum Wahhabi, mengambil
ayat-ayat yang turun mengenai
pemuja berhala, lalu mereka
terapkan pada orang-orang yang
beriman. Hal tersebut memenuhi
buku-buku dan menjadi dasar
madzhab mereka.
Berikut ini dialog menarik antara
Sunni dengan Wahhabi. Wahhabi
berkata: “Kitab-kitab madzhab
Hanbali itu kitab-kitab Wahhabi.
Apa yang Anda tidak setuju? Anda
tidak boleh menilai negatif mereka
kecuali dengan apa yang tertulis
dengan jelas dalam kitab-kitab
mereka, bukan berdasarkan
informasi dari pihak lawan
Wahhabi”. Sunni berkata:
“Bagaimana Anda menilai aliran
Qaramithah?” Wahhabi menjawab:
“Mereka orang-orang kafir dan
mulhid”.
Sunni berkata: “Orang-orang
Qaramithah berasumsi bahwa
madzhab mereka itu madzhab
Ahlul Bait. Menurut mereka, kitab-
kitab Ahlul Bait itu kitab-kitab
Qaramithah. Bukankah dalam
kitab-kitab Ahlul Bait itu hanya
kebenaran dan cahaya?” Wahhabi
berkata: “Qaramithah itu
berbohong. Para sejarawan telah
mencatat kekafiran dan
kebohongan Qaramithah.”
Sunni berkata: “Anda menganggap
kesaksian sejarawan sebagai
hujjah?” Wahhabi berkata: “Ya,
karena al-Syafi’i menjelaskan
bahwa informasi para sejarawan
secara kolektif dari banyak orang
ke banyak orang lebih ia senangi
daripada hadits yang diriwayatkan
seorang ahli hadits, melalui seorang
perawi dari seorang perawi.” Sunni
menjawab: “Kalau begitu Anda
harus menerima argumentasi saya.
Bukankah para sejarawan yang
menyaksikan lahirnya Wahhabi
mencatat kekafiran mereka yang
nyata. Perbuatan seseorang sangat
kuat sebagai hujjah dan dalil,
meskipun lidahnya tidak
mengakuinya. Qaramithah ketika
menghalalkan darah dan harta
benda kaum Muslimin, maka tanpa
ragu-ragu para ulama meyakini
kekafiran mereka. Demikian pula
generasi awal aliran Wahhabi,
perbuatannya sama dengan
Qaramithah, mengkafirkan dan
membantai kaum Muslimin.”
Akhirnya orang Wahhabi itu emosi.
Ia tidak mampu mengendalikan
bicaranya dengan kalimat-kalimat
yang sulit dimengerti.
Sunni berkata: “Bagaimana
pendapat Anda tentang hadits-
hadits yang menerangkan tentang
Khawarij. Dalam hadits-hadits
tersebut diterangkan bahwa
Khawarij keluar dari agama,
mereka akan menjadi anjing-anjing
di neraka dan mereka seburuk-
buruk orang yang dibunuh di
bawah langit?” Wahhabi
menjawab: “Hadits-hadits yang ada
memberikan kesimpulan yang
pasti dan tanpa keraguan bahwa
Khawarij memang keluar dari
agama dan berhak menerima
murka Allah subhanahu wa ta’ala.
Tetapi mereka orang-orang yang
diperangi oleh Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu di Nahrawan.
Wahhabi bukan bagian dari
mereka.”
Sunni berkata: “Mengapa Khawarij
berhak menerima murka Allah
subhanahu wa ta’ala. Apakah
karena shalat mereka lebih baik
dari pada shalat para sahabat dan
puasa mereka lebih baik dari pada
puasa sahabat?” Wahhabi
menjawab: “Bukan karena itu”.
Sunni berkata: “Atau karena
mereka zuhud, bersahaja,
membaca al-Qur’an dengan rajin
dan sungguh-sungguh dan sering
mengeluarkan hadits-hadits Nabi
shallallahu alaihi wa sallam?”
Wahhabi menjawab: “Bukan
karena itu”. Sunni menjawab:
“Kalau bukan karena itu, lalu
karena apa?” Wahhabi terdiam dan
tidak bisa menjawab. Lalu Sunni
menjawab: “Hal itu karena
Khawarij mengkafirkan dan
menghalalkan darah dan harta
benda kaum Muslimin. Mereka
mengklaim bahwa hanya mereka
kaum Muslimin. Selain mereka jelas
kafir. Sudah barang tentu,
kelompok yang memiliki konsep
ajaran seperti Khawarij, juga
berhak menerima ancaman seperti
mereka.”
==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan
Wahhabi” karya Ust. Muhammad
Idrus Ramli, alumni Pondok
Pesantren Sidogiri tahun
1424/2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar