Sabtu, 30 Juni 2012

Seri Kontra Wahabi (3): Bid‘ahHasanah

Bid’ah Hasanah dan Dalilnya
Bid’ah hasanah adalah persoalan
yang tidak pernah selesai
dibicarakan. Hal ini di samping
karena banyak inovasi amaliah
kaum Muslimin yang tercover
dalam bingkai bid’ah hasanah, juga
karena adanya kelompok
minoritas umat Islam yang sangat
kencang menyuarakan tidak
adanya bid’ah hasanah dalam
Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah
hasanah ini selalu menjadi aktual
untuk dikaji dan dibicarakan. Toh
walaupun sebenarnya khilafiyah
tentang pembagian bid’ah menjadi
dua, antara bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi.
Karena di samping dalil-dalil
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam yang menunjukkan
adanya bid’ah hasanah cukup
banyak dan sangat kuat, juga
karena konsep bid’ah hasanah
telah diakui sejak generasi sahabat
pada masa Khulafaur Rasyidin.
Namun apa boleh dikata, kelompok
yang anti bid’ah hasanah tidak
pernah bosan dan lelah untuk
membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema
Membedah Kontroversi Bid’ah,
yang diadakan oleh MPW Fahmi
Tamami Provinsi Bali, di Denpasar,
pada bulan Juli 2010, saya terlibat
dialog cukup tajam dengan
beberapa tokoh Salafi yang hadir
dalam acara tersebut. Dalam acara
itu, saya menjelaskan, bahwa
pembagian bid’ah menjadi dua,
bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah,
merupakan keharusan dan
keniscayaan dari pengamalan
sekian banyak hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam yang
shahih dan terdapat dalam kitab-
kitab hadits yang otoritatif
(mu’tabar). Karena meskipun
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ t ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ
ﺍﻟﻠﻪِ :r ﺇِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ
ﻭَﺧَﻴْﺮَﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻫُﺪَﻯ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺷَﺮُّ ﺍْﻷُﻣُﻮْﺭِ
ﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ ﻭَﻛُﻞُّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔُ) .ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ.(
“Jabir bin Abdullah berkata,
“Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Sebaik-baik
ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-
baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad. Sejelek-jelek perkara,
adalah perkara yang baru. Dan
setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR.
Muslim [867]).
Termyata Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam juga bersabda:
ﻋَﻦْ ﺟَﺮِﻳْﺮِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟْﺒَﺠَﻠِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ
ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ r ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً
ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ
ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ
ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓِﻲ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺳَﻴِّﺌَﺔً
ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭِﺯْﺭُﻫَﺎ ﻭَﻭِﺯْﺭُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﻣَﻦْ
ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃَﻭْﺯَﺍﺭِﻫِﻢْ
ﺷَﻲْﺀٌ. ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ
“Jarir bin Abdullah al-Bajali
radhiyallahu anhu berkata,
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Barangsiapa
yang memulai perbuatan baik
dalam Islam, maka ia akan
memperoleh pahalanya serta
pahala orang-orang yang
melakukannya sesudahnya tanpa
dikurangi sedikitpun dari pahala
mereka. Dan barangsiapa yang
memulai perbuatan jelek dalam
Islam, maka ia akan memperoleh
dosanya dan dosa orang-orang
yang melakukannya sesudahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari
dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
menegaskan, bahwa setiap bid’ah
adalah sesat. Tetapi dalam hadits
kedua, Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam menegaskan pula,
bahwa barangsiapa yang memulai
perbuatan baik dalam Islam, maka
ia akan mendapatkan pahalanya
dan pahala orang-orang yang
melakukannya sesudahnya.
Dengan demikian, hadits kedua
jelas membatasi jangkauan makna
hadits pertama “kullu bid’atin
dhalalah (setiap bid’ah adalah
sesat)” sebagaimana dikatakan
oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-
lain. Karena dalam hadits kedua,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam
menjelaskan dengan redaksi,
“Barangsiapa yang memulai
perbuatan yang baik”, maksudnya
baik perbuatan yang dimulai
tersebut pernah dicontohkan dan
pernah ada pada masa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, atau
belum pernah dicontohkan dan
belum pernah ada pada masa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi
lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam seringkali melegitimasi
beragam bentuk inovasi amaliah
para sahabat yang belum pernah
diajarkan oleh beliau. Misalnya
berkaitan dengan tatacara
ma’mum masbuq dalam shalat
berjamaah dalam hadits shahih
berikut ini:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِﺍﻟﺮَّﺣْﻤﻦِ ﺑْﻦِ ﺃَﺑِﻲْ ﻟَﻴْﻠَﻰ ﻗَﺎﻝَ: )ﻛَﺎﻥَ
ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﻬْﺪِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ r ﺇِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀَ
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻭَﻗَﺪْ ﻓَﺎﺗَﻪُ ﺷَﻲْﺀٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﺃَﺷَﺎﺭَ
ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﻣَﺎ ﻓَﺎﺗَﻪُ ﺛُﻢَّ ﺩَﺧَﻞَ ﻓِﻲ
ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﺛُﻢَّ ﺟَﺎﺀَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻣُﻌَﺎﺫٌ ﺑْﻦُ ﺟَﺒَﻞٍ
ﻓَﺄَﺷَﺎﺭُﻭْﺍ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻓَﺪَﺧَﻞَ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻨْﺘَﻈِﺮْ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ r ﺫَﻛَﺮُﻭْﺍ ﻟَﻪُ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﻟَﻬُﻢْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ r »ﺳَﻦَّ ﻟَﻜُﻢْ ﻣُﻌَﺎﺫٌ.«ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔِ
ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﻣُﻌَﺎﺫٍ ﺑْﻦِ ﺟَﺒَﻞٍ: )ﺇِﻧَّﻪُ ﻗَﺪْ ﺳَﻦَّ ﻟَﻜُﻢْ
ﻣُﻌَﺎﺫٌ ﻓَﻬَﻜَﺬَﺍ ﻓَﺎﺻْﻨَﻌُﻮْﺍ.( ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ
ﻭﺃﺣﻤﺪ ، ﻭﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ، ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ، ﻭﻗﺪ
ﺻﺤﺤﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺩﻗﻴﻖ ﺍﻟﻌﻴﺪ
ﻭﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺣﺰﻡ.
“Abdurrahman bin Abi Laila
berkata: “Pada masa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, bila
seseorang datang terlambat
beberapa rakaat mengikuti shalat
berjamaah, maka orang-orang
yang lebih dulu datang akan
memberi isyarat kepadanya
tentang rakaat yang telah dijalani,
sehingga orang itu akan
mengerjakan rakaat yang
tertinggal itu terlebih dahulu,
kemudian masuk ke dalam shalat
berjamaah bersama mereka. Pada
suatu hari Mu’adz bin Jabal datang
terlambat, lalu orang-orang
mengisyaratkan kepadanya
tentang jumlah rakaat shalat yang
telah dilaksanakan, akan tetapi
Mu’adz langsung masuk dalam
shalat berjamaah dan tidak
menghiraukan isyarat mereka,
namun setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam selesai
shalat, maka Mu’adz segera
mengganti rakaat yang tertinggal
itu. Ternyata setelah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam selesai
shalat, mereka melaporkan
perbuatan Mu’adz bin Jabal yang
berbeda dengan kebiasaan
mereka. Lalu beliau shallallahu
alaihi wa sallam menjawab:
“Mu’adz telah memulai cara yang
baik buat shalat kalian.” Dalam
riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau
shallallahu alaihi wa sallam
bersabda; “Mu’adz telah memulai
cara yang baik buat shalat kalian.
Begitulah cara shalat yang harus
kalian kerjakan”. (HR. al-Imam
Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn
Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini
dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn
Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm
al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya
membuat perkara baru dalam
ibadah, seperti shalat atau lainnya,
apabila sesuai dengan tuntunan
syara’. Dalam hadits ini, Nabi
shallallahu alaihi wa sallam tidak
menegur Mu’adz dan tidak pula
berkata, “Mengapa kamu
membuat cara baru dalam shalat
sebelum bertanya kepadaku?”,
bahkan beliau membenarkannya,
karena perbuatan Mu’adz sesuai
dengan aturan shalat berjamaah,
yaitu makmum harus mengikuti
imam. Dalam hadits lain
diriwayatkan:
ﻭَﻋَﻦْ ﺳَﻴِّﺪِﻧَﺎ ﺭِﻓَﺎﻋَﺔَ ﺑْﻦِ ﺭَﺍﻓِﻊٍ t ﻗَﺎﻝَ : ﻛُﻨَّﺎ
ﻧُﺼَﻠِّﻲْ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ r ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺭَﻓَﻊَ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﻣِﻦَ
ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺔِ ﻗَﺎﻝَ )ﺳَﻤِﻊَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟِﻤَﻦْ ﺣَﻤِﺪَﻩُ( ﻗَﺎﻝَ
ﺭَﺟُﻞٌ ﻭَﺭَﺍﺀَﻩُ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻭَﻟَﻚَ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﺣَﻤْﺪًﺍ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ
ﻃَﻴِّﺒًﺎ ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺍﻧْﺼَﺮَﻑَ ﻗﺎَﻝَ )ﻣَﻦِ
ﺍﻟْﻤُﺘَﻜَﻠِّﻢُ؟( ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﻧَﺎ ﻗﺎَﻝَ: »ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺑِﻀْﻌَﺔً
ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴْﻦَ ﻣَﻠَﻜًﺎ ﻳَﺒْﺘَﺪِﺭُﻭْﻧَﻬَﺎ ﺃَﻳُّﻬُﻢْ ﻳَﻜْﺘُﺒُﻬَﺎ.«
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ.
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu
berkata: “Suatu ketika kami shalat
bersama Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Ketika beliau bangun dari
ruku’, beliau berkata: “sami’allahu
liman hamidah”. Lalu seorang laki-
laki di belakangnya berkata:
“rabbana walakalhamdu hamdan
katsiran thayyiban mubarakan fih”.
Setelah selesai shalat, beliau
bertanya: “Siapa yang membaca
kalimat tadi?” Laki-laki itu
menjawab: “Saya”. Beliau
bersabda: “Aku telah melihat lebih
30 malaikat berebutan menulis
pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat di atas
mengerjakan perkara baru yang
belum pernah diterimanya dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
yaitu menambah bacaan dzikir
dalam i’tidal. Ternyata Nabi
shallallahu alaihi wa sallam
membenarkan perbuatan mereka,
bahkan memberi kabar gembira
tentang pahala yang mereka
lakukan, karena perbuatan mereka
sesuai dengan syara’, di mana
dalam i’tidal itu tempat memuji
kepada Allah. Oleh karena itu al-
Imam al-Hafizh Ibn Hajar
al-’Asqalani menyatakan dalam
Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits
ini menjadi dalil bolehnya
membuat dzikir baru dalam shalat,
selama dzikir tersebut tidak
menyalahi dzikir yang ma’tsur
(datang dari Nabi shallallahu alaihi
wa sallam), dan bolehnya
mengeraskan suara dalam bacaan
dzikir selama tidak mengganggu
orang lain. Seandainya hadits “kullu
bid’atin dhalalah (setiap bid’ah
adalah sesat)”, bersifat umum
tanpa pembatasan, tentu saja
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam akan melarang setiap
bentuk inovasi dalam agama
ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah
menjadi dua, bid’ah hasanah dan
bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh
para sahabat Nabi shallallahu alaihi
wa sallam, termasuk Khulafaur
Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻋَﺒْﺪٍ ﺍﻟْﻘَﺎﺭِﻱِّ ﺃَﻧَّﻪُ ﻗَﺎﻝَ:
ﺧَﺮَﺟْﺖُ ﻣَﻊَ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ t ﻟَﻴْﻠَﺔً ﻓِﻲْ
ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺇﻟﻰ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻓَﺈِﺫًﺍ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺃَﻭْﺯَﺍﻉٌ
ﻣُﺘَﻔَﺮِّﻗُﻮْﻥَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻭَﻳُﺼَﻠِّﻲ
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻓَﻴُﺼَﻠِّﻲْ ﺑِﺼَﻼَﺗِﻪِ ﺍﻟﺮَّﻫْﻂُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ
:t ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﺭَﻯ ﻟَﻮْ ﺟَﻤَﻌْﺖُ ﻫَﺆُﻻَﺀِ ﻋَﻠَﻰ ﻗَﺎﺭِﺉٍ
ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻟَﻜَﺎﻥَ ﺃَﻣْﺜَﻞَ ﺛُﻢَّ ﻋَﺰَﻡَ ﻓَﺠَﻤَﻌَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ
ﺃُﺑَﻲِّ ﺑْﻦِ ﻛَﻌْﺐٍ ﺛُﻢَّ ﺧَﺮَﺟْﺖُ ﻣَﻌَﻪُ ﻟَﻴْﻠَﺔً ﺃُﺧْﺮَﻯ
ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻳُﺼَﻠُّﻮْﻥَ ﺑِﺼَﻼﺓِ ﻗَﺎﺭِﺋِﻬِﻢْ ﻗَﺎﻝَ ﻋُﻤَﺮُ:
ﻧِﻌْﻤَﺖِ ﺍﻟْﺒِﺪْﻋَﺔُ ﻫَﺬِﻩِ ﻭَﺍﻟَّﺘِﻲْ ﻧَﺎﻣُﻮْﺍ ﻋَﻨْﻬَﺎ
ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦَ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﻳَﻘُﻮْﻣُﻮْﻥَ ﻳُﺮِﻳْﺪُ ﺁﺧِﺮَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ
ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻳَﻘُﻮْﻣُﻮْﻥَ ﺃَﻭَّﻟَﻪُ. ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ.
“Abdurrahman bin Abd al-Qari
berkata: “Suatu malam di bulan
Ramadhan aku pergi ke masjid
bersama Umar bin al-Khaththab.
Ternyata orang-orang di masjid
berpencar-pencar dalam sekian
kelompok. Ada yang shalat
sendirian. Ada juga yang shalat
menjadi imam beberapa orang.
Lalu Umar radhiyallahu anhu
berkata: “Aku berpendapat,
andaikan mereka aku kumpulkan
dalam satu imam, tentu akan lebih
baik”. Lalu beliau mengumpulkan
mereka pada Ubay bin Ka’ab.
Malam berikutnya, aku ke masjid
lagi bersama Umar bin al-
Khaththab, dan mereka
melaksanakan shalat bermakmum
pada seorang imam. Menyaksikan
hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini. Tetapi
menunaikan shalat di akhir malam,
lebih baik daripada di awal malam”.
Pada waktu itu, orang-orang
menunaikan tarawih di awal
malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam tidak pernah menganjurkan
shalat tarawih secara berjamaah.
Beliau hanya melakukannya
beberapa malam, kemudian
meninggalkannya. Beliau tidak
pernah pula melakukannya secara
rutin setiap malam. Tidak pula
mengumpulkan mereka untuk
melakukannya. Demikian pula
pada masa Khalifah Abu Bakar
radhiyallahu anhu. Kemudian Umar
radhiyallahu anhu mengumpulkan
mereka untuk melakukan shalat
tarawih pada seorang imam dan
menganjurkan mereka untuk
melakukannya. Apa yang beliau
lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi
bid’ah hasanah, karena itu beliau
mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah
adalah ini”. Al-Bukhari
meriwayatkan dalam Shahih-nya:
ﻭَﻋَﻦِ ﺍﻟﺴَّﺎﺋِﺐِ ﺑْﻦِ ﻳَﺰِﻳْﺪَ t ﻗَﺎﻝَ: ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨِّﺪَﺍﺀُ
ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﺃَﻭَّﻟﻪُ ﺇِﺫَﺍ ﺟَﻠَﺲَ ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ ﻋَﻠَﻰ
ﺍﻟْﻤِﻨْﺒَﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﻋَﻬْﺪِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ r ﻭَﺃَﺑِﻲْ ﺑَﻜْﺮٍ ﻭَﻋُﻤَﺮَ
ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ t ﻭَﻛَﺜُﺮَ
ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺯَﺍﺩَ ﺍﻟﻨِّﺪَﺍﺀَ ﺍﻟﺜَّﺎﻟِﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﺰَّﻭْﺭَﺍﺀِ ﻭَﻫِﻲَ
ﺩَﺍﺭٌ ﻓِﻲْ ﺳُﻮْﻕِ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳْﻨَﺔِ. ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ.
“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu
anhu berkata: “Pada masa
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, Abu Bakar dan Umar adzan
Jum’at pertama dilakukan setelah
imam duduk di atas mimbar.
Kemudian pada masa Utsman, dan
masyarakat semakin banyak,
maka beliau menambah adzan
ketiga di atas Zaura’, yaitu nama
tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-
Bukhari [916]).
Pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam, Abu Bakar dan
Umar adzan Jum’at
dikumandangkan apabila imam
telah duduk di atas mimbar. Pada
masa Utsman, kota Madinah
semakin luas, populasi penduduk
semakin meningkat, sehingga
mereka perlu mengetahui
dekatnya waktu Jum’at sebelum
imam hadir ke mimbar. Lalu
Utsman menambah adzan
pertama, yang dilakukan di Zaura’,
tempat di Pasar Madinah, agar
mereka segera berkumpul untuk
menunaikan shalat Jum’at,
sebelum imam hadir ke atas
mimbar. Semua sahabat yang ada
pada waktu itu menyetujuinya.
Apa yang beliau lakukan ini
termasuk bid’ah, tetapi bid’ah
hasanah dan dilakukan hingga
sekarang oleh kaum Muslimin.
Benar pula menamainya dengan
sunnah, karena Utsman termasuk
Khulafaur Rasyidin yang
sunnahnya harus diikuti
berdasarkan hadits sebelumnya.
Selanjutnya, beragam inovasi
dalam amaliah keagamaan juga
dipraktekkan oleh para sahabat
secara individu. Dalam kitab-kitab
hadits diriwayatkan, beberapa
sahabat seperti Umar bin al-
Khaththab, Abdullah bin Umar,
Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan
lain-lain menyusun doa talbiyah-
nya ketika menunaikan ibadah haji
berbeda dengan redaksi talbiyah
yang datang dari Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Para ulama ahli
hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami
meriwayatkan dalam Majma’ al-
Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan
al-Hasan al-Bashri melakukan
shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat
idul fitri dan idul adhha.
Berangkat dari sekian banyak
hadits-hadits shahih di atas, serta
perilaku para sahabat, para ulama
akhirnya berkesimpulan bahwa
bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah
hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-
Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid
pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:
ﺍَﻟْﻤُﺤْﺪَﺛَﺎﺕُ ﺿَﺮْﺑَﺎﻥِ: ﻣَﺎ ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُ ﻛِﺘَﺎﺑًﺎ
ﺃَﻭْ ﺳُﻨَّﺔً ﺃَﻭْ ﺇِﺟْﻤَﺎﻋًﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺑِﺪْﻋَﺔُ ﺍﻟﻀَّﻼﻟَﺔِ ﻭَﻣَﺎ
ﺃُﺣْﺪِﺙَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻻَ ﻳُﺨَﺎﻟِﻒُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ
ﻓَﻬُﻮَ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺬْﻣُﻮْﻣَﺔٍ. )ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ
ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، ﻣﻨﺎﻗﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، .(١/٤٦٩
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua
macam; pertama, sesuatu yang
baru yang menyalahi al-Qur’an
atau Sunnah atau Ijma’, dan itu
disebut bid’ah dhalalah (tersesat).
Kedua,sesuatu yang baru dalam
kebaikan yang tidak menyalahi al-
Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu
disebut bid’ah yang tidak tercela”.
(Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i,
1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini
juga disetujui oleh Syaikh Ibn
Taimiyah al-Harrani dalam
kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-
Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal.
163).”
Setelah saya memaparkan
penjelasan di atas, Ustadz Husni
Abadi, pembicara yang mewakili
kaum Salafi pada waktu itu, tidak
mampu membantah dalil-dalil
yang saya ajukan. Anehnya ia
justru mengajukan dalil-dalil lain
yang menurut asumsinya
menunjukkan tidak adanya bid’ah
hasanah. Seharusnya dalam
sebuah perdebatan, pihak
penentang (mu’taridh) melakukan
bantahan terhadap dalil-dalil yang
diajukan oleh pihak lawan,
sebagaimana diterangkan dalam
ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak
penentang tidak mampu
mematahkan dalil-dalil pihak
lawan, maka argumentasi pihak
tersebut harus diakui benar dan
shahih.
Ustadz Husni Abadi berkata:
“Ustadz, dalam soal ibadah kita
tidak boleh membuat-buat sendiri.
Kita terikat dengan kaedah al-ashlu
fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla
al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal
dalam sebuah ibadah adalah batal,
sebelum ada dalil yang
menunjukkan kebenaran
mengamalkannya)”.
Mendengar pernyataan Ustadz
Husni, saya menjawab: “Kaedah
yang Anda sebutkan tidak dikenal
dalam ilmu fiqih. Dan seandainya
kaedah yang Anda sebutkan ada
dalam ilmu fiqih, maka kaedah
tersebut tidak menolak adanya
bid’ah hasanah. Karena Anda tadi
mengatakan, bahwa dalam soal
ibadah tidak boleh membuat-buat
sendiri. Maksud Anda tidak boleh
membuat bid’ah hasanah. Lalu
Anda berargumen dengan kaedah,
hukum asal dalam sebuah ibadah
adalah batal, sebelum ada dalil
yang menunjukkan kebenaran
mengamalkannya. Tadi sudah
kami buktikan, bahwa bid’ah
hasanah banyak sekali dalilnya.
Berarti, kaedah Anda
membenarkan mengamalkan
bid’ah hasanah, karena dalilnya
jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat
al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
ﺍَﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺍَﻛْﻤَﻠْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﺩِﻳْﻨَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺗْﻤَﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ
ﻧِﻌْﻤَﺘِﻲْ.
“Pada hari ini aku sempurnakan
bagimu agamamu dan aku
sempurnakan bagimu nikmat-
Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat di atas menegaskan bahwa
Islam telah sempurna. Dengan
demikian, orang yang melakukan
bid’ah hasanah berarti berasumsi
bahwa Islam belum sempurna,
sehingga masih perlu
disempurnakan dengan bid’ah
hasanah.”
Saya menjawab: “Ayat 3 dalam
surat al-Maidah yang Anda
sebutkan tidak berkaitan dengan
bid’ah hasanah. Karena yang
dimaksud dengan penyempurnaan
agama dalam ayat tersebut,
seperti dikatakan oleh para ulama
tafsir, adalah bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala telah
menyempurnakan kaedah-kaedah
agama. Seandainya yang
dimaksud dengan ayat tersebut,
tidak boleh melakukan bid’ah
hasanah, tentu saja para sahabat
sepeninggal Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam tidak akan
melakukan bid’ah hasanah.
Sayidina Abu Bakar menghimpun
al-Qur’an, Sayyidina Umar
menginstruksikan shalat tarawih
secara berjamaah, dan Sayyidina
Utsman menambah adzan Jum’at
menjadi dua kali, serta beragam
bid’ah hasanah lainnya yang
diterangkan dalam kitab-kitab
hadits. Dalam hal ini tak seorang
pun dari kalangan sahabat yang
menolak hal-hal baru tersebut
dengan alasan ayat 3 surat al-
Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda
sebutkan tidak ada kaitannya
dengan bid’ah hasanah. Justru
bid’ah hasanah masuk dalam
kesempurnaan agama, karena
dalil-dalilnya terdapat dalam sekian
banyak hadits Rasul shallallahu
alaihi wa sallam dan perilaku para
sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin
Abdullah al-Bajali, tidak tepat
dijadikan dalil bid’ah hasanah.
Karena hadits tersebut jelas
membicarakan sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam.
Bukankah redaksinya berbunyi,
man sanna fil Islaam sunnatan
hasanatan. Di samping itu, hadits
tersebut mempunyai latar
belakang, yaitu anjuran sedekah.
Dan sudah maklum bahwa
sedekah memang ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz
jadikan dalil bid’ah hasanah tidak
proporsional.”
Saya menjawab: “Untuk
memahami hadits Jarir bin Abdullah
al-Bajali tersebut kita harus berpikir
jernih dan teliti. Pertama, kita harus
tahu bahwa yang dimaksud
dengan sunnah dalam teks hadits
tersebut adalah sunnah secara
lughawi (bahasa). Secara bahasa,
sunnah diartikan dengan al-
thariqah mardhiyyatan kanat au
ghaira mardhiyyah (perilaku dan
perbuatan, baik perbuatan yang
diridhai atau pun tidak). Sunnah
dalam teks hadits tersebut tidak
bisa dimaksudkan dengan Sunnah
dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma
ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa
sallam min qaulin au fi’lin au taqrir
(segala sesuatu yang datang dari
Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
baik berupa ucapan, perbuatan
maupun pengakuan). Sunnah
dengan definisi terminologis ahli
hadits seperti ini, berkembang
setelah abad kedua Hijriah.
Seandainya, Sunnah dalam teks
hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali
tersebut dimaksudkan dengan
Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa
sallam dalam terminologi ahli
hadits, maka pengertian hadits
tersebut akan menjadi kabur dan
rancu. Coba kita amati, dalam teks
hadits tersebut ada dua kalimat
yang belawanan, pertama kalimat
man sanna sunnatan hasanatan.
Dan kedua, kalimat berikutnya
yang berbunyi man sanna
sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau
kosa kata Sunnah dalam teks
hadits tersebut kita maksudkan
pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi
wa sallam dalam terminologi ahli
hadits tadi, maka akan melahirkan
sebuah pengertian bahwa Sunnah
Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu
ada yang hasanah (baik) dan ada
yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini
pengertian sangat keliru. Oleh
karena itu, para ulama seperti al-
Imam al-Nawawi menegaskan,
bahwa hadits man sanna fil islam
sunnatan hasanatan, membatasi
jangkauan makna hadits kullu
bid’atin dhalalah, karena makna
haditsnya sangat jelas, tidak perlu
disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa
konteks yang menjadi latar
belakang (asbab al-wurud) hadits
tersebut berkaitan dengan anjuran
sedekah, maka alasan ini sangat
lemah sekali. Bukankah dalam ilmu
Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah,
al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-
khusush al-sabab, (peninjauan
dalam makna suatu teks itu
tergantung pada keumuman
kalimat, bukan melihat pada
konteksnya yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-
Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu
tidak ada. Yang namanya bid’ah itu
pasti sesat.”
Saya menjawab: “Maaf, Anda salah
dalam mengutip pendapat al-
Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru
al-Imam Ibn Rajab itu mengakui
bid’ah hasanah. Hanya saja beliau
tidak mau menamakan bid’ah
hasanah dengan bid’ah, tetapi
beliau namakan Sunnah. Jadi
hanya perbedaan istilah saja.
Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab
menerima bid’ah hasanah, dalam
kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-
Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan
min Jamawi’ al-Kalim, beliau
mengutip pernyataan al-Imam al-
Syafi’i yang membagi bid’ah
menjadi dua. Dan seandainya al-
Imam Ibn Rajab memang
berpendapat seperti yang Anda
katakan, kita tidak akan mengikuti
beliau, tetapi kami akan mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan para sahabat yang
mengakui adanya bid’ah hasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang
Anda ajukan dari Khulafaur
Rasyidin, seperti dari Khalifah
Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa
dijadikan dalil bid’ah hasanah.
Karena mereka termasuk
Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam telah
memerintahkan kita mengikuti
Khulafaur Rasyidin, dalam hadits
‘alaikum bisunnati wa sunnatil
khulafair rasyidin al-mahdiyyin
(ikutilah sunnahku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin yang
memperoleh petunjuk). Dengan
demikian, apa yang mereka
lakukan sebenarnya termasuk
Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Saya menjawab: “Ustadz Husni
yang saya hormati, menurut
hemat kami sebenarnya yang
tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin
itu orang yang menolak bid’ah
hasanah seperti Anda. Karena
Khulafaur Rasyidin sendiri
melakukan bid’ah hasanah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkan kita
mengikuti Khufaur Rasyidin.
Sementara Khulafaur Rasyidin
melakukan bid’ah hasanah. Berarti
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkan kita
melakukan bid’ah hasanah. Dengan
demikian kami yang berpendapat
dengan adanya bid’ah hasanah itu
sebenarnya mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan
Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu,
mari kita ikuti Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan Khulafaur
Rasyidin dengan melakukan bid’ah
hasanah sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau
Anda mengatakan bahwa hadits
kullu bid’atin dhalalah maknanya
terbatas dengan artian bahwa
sebagian bid’ah itu sesat, bukan
semua bid’ah, lalu apakah Anda
akan mengartikan teks berikutnya,
yang berbunyi wa kullu dhalalatin
finnar, dengan pengertian yang
sama, bahwa sebagian kesesatan
itu masuk neraka, bukan
semuanya. Apakah Ustadz berani
mengartikan demikian?”
Saya menjawab: “Ustadz Husni
yang saya hormati, dalam
mengartikan atau membatasi
jangkauan makna suatu ayat atau
hadits, kita tidak boleh mengikuti
hawa nafsu. Akan tetapi kita harus
mengikuti al-Qur’an dan Sunnah
pula. Para ulama mengartikan teks
hadits kullu bid’atin dhalalah
dengan arti sebagian besar bid’ah
itu sesat, karena ada sekian
banyak hadits yang menuntut
demikian. Sedangkan berkaitan
teks berikutnya, wa kullu dhalalatin
finnar (setiap kesesatan itu di
neraka), di sini kami tegaskan,
bahwa selama kami tidak
menemukan dalil-dalil yang
membatasi jangkauan maknanya,
maka kami akan tetap berpegang
pada keumumannya. Jadi makna
seluruh atau sebagian dalam
sebuah teks itu tergantung dalil.
Yang namanya dalil, ya al-Qur’an
dan Sunnah. Jadi membatasi
jangkauan makna dalil, dengan
dalil pula, bukan dengan hawa
nafsu.” Demikianlah dialog saya
dengan Ustadz Husni Abadi, di
Denpasar pada akhir Juli 2010 yang
lalu.
Di Islamic Center Jakarta Utara
Ada kisah menarik berkaitan
dengan bid’ah hasanah yang perlu
diceritakan di sini. Kisah ini
pengalaman pribadi Ali Rahmat,
laki-laki gemuk yang sekarang
tinggal di Jakarta Pusat. Beliau
pernah kuliah di Syria setelah
tamat dari Pondok Pesantren
Assunniyah Kencong, Jember. Ali
Rahmat bercerita, “Pada
pertengahan 2009, kaum Wahhabi
mengadakan pengajian di Islamic
Center Jakarta Utara. Tampil
sebagai pembicara, Yazid Jawas
dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh
Wahhabi di Indonesia.
Pada waktu itu, saya sengaja hadir
bersama beberapa teman alumni
Pondok Pesantren Sidogiri
Pasuruan, antara lain Ustadz
Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid
Umar dan Ustadz Mishbahul Munir.
Ternyata, sejak awal acara, dua
tokoh Wahhabi itu sangat agresif
menyampaikan ajarannya tentang
bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz
Yazid Jawas banyak berbicara
tentang bid’ah. Menurut Yazid
Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada.
Semua bid’ah pasti sesat dan
masuk neraka. Menurut Yazid
Jawas, apapun yang tidak pernah
ada pada masa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, harus
ditinggalkan, karena termasuk
bid’ah dan akan masuk neraka.
Di tengah-tengah presentasi
tersebut saya bertanya kepada
Yazid Jawas. “Anda sangat ekstrem
dalam membicarakan bid’ah.
Menurut Anda, apa saja yang
belum pernah ada pada masa
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam itu pasti bid’ah dan akan
masuk neraka. Sekarang saya
bertanya, Sayidina Umar bin al-
Khaththab memulai tradisi shalat
tarawih 20 raka’at dengan
berjamaah, Sayidina Utsman
menambah adzan Jum’at menjadi
dua kali, sahabat-sahabat yang lain
juga banyak yang membuat
susunan-susunan dzikir yang tidak
diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Sekarang saya
bertanya, beranikah Anda
mengatakan bahwa Sayidina
Umar, Sayidina Utsman dan
sahabat lainnya termasuk ahli
bid’ah dan akan masuk neraka?”
Mendengar pertanyaan saya, Yazid
Jawas hanya terdiam seribu
bahasa, tidak bisa memberikan
jawaban.
Setelah acara dialog selesai, saya
menghampiri Yazid Jawas, dan
saya katakan kepadanya,
“Bagaimana kalau Anda kami ajak
dialog dan debat secara terbuka
dengan ulama kami. Apakah Anda
siap?” “Saya tidak siap.” Demikian
jawab Yazid Jawas seperti
diceritakan oleh Ali Rahmat kepada
saya.
Kisah serupa terjadi juga di Jember
pada akhir Desember 2009. Dalam
daurah tentang Syi’ah yang
diadakan oleh Perhimpunan Al-
Irsyad di Jember, ada beberapa
mahasiswa STAIN Jember yang
mengikutinya. Ternyata dalam
daurah tersebut, tidak hanya
membicarakan Syi’ah. Tetapi juga
membicarakan tentang bid’ah dan
ujung-ujungnya membid’ah-
bid’ahkan amaliah kaum Muslimin
di Tanah Air yang telah mengakar
sejak beberapa abad yang silam.
Di antara pematerinya ada yang
bernama Abu Hamzah Agus Hasan
Bashori, tokoh Salafi dari Malang.
Dalam kesempatan tersebut, Agus
menyampaikan bahwa bid’ah itu
sesat semua. Yang namanya bid’ah
hasanah itu tidak ada. Apa saja
yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, harus kita tinggalkan,
karena itu termasuk bid’ah dan
akan masuk neraka. Demikian
konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah
seorang mahasiswa dari Jember
tadi ada yang bertanya: “Kalau
konsep bid’ah seperti yang Anda
paparkan barusan, bahwa semua
bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah
hasanah, dan bahwa apa saja yang
tidak ada pada masa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam harus
kami tinggalkan, karena termasuk
bid’ah. Sekarang bagaimana Anda
menanggapi doa-doa yang disusun
oleh para sahabat yang belum
pernah diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam?
Bagaimana dengan doa al-Imam
Ahmad bin Hanbal dalam sujud
ketika shalat selama 40 tahun
yang berbunyi:
ﻗَﺎﻝَ ﺍْﻹِﻣَﺎﻡُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ: ﺇِﻧِّﻲْ ﻷَﺩْﻋُﻮ ﺍﻟﻠﻪَ
ﻟِﻠﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻓِﻲْ ﺻَﻼَﺗِﻲْ ﻣُﻨْﺬُ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴْﻦَ ﺳَﻨَﺔً،
ﺃَﻗُﻮْﻝُ: ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﻲْ ﻭَﻟِﻮَﺍﻟِﺪَﻱَّ ﻭَﻟِﻤُﺤَﻤَّﺪِ
ﺑْﻦِ ﺇِﺩْﺭِﻳْﺲَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ. )ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ،
ﻣﻨﺎﻗﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ، ۲/۲٥٤ .(
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal
berkata: “Saya mendoakan al-
Imam al-Syafi’i dalam shalat saya
selama empat puluh tahun. Saya
berdoa, “Ya Allah ampunilah aku,
kedua orang tuaku dan
Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-
Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam
al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti itu sudah pasti tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, para
sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam
Ahmad bin Hanbal melakukannya
selama empat puluh tahun.
Demikian pula Syaikh Ibn
Taimiyah, setiap habis shalat
shubuh, melakukan dzikir bersama,
lalu membaca surat al-Fatihah
berulang-ulang hingga Matahari
naik ke atas, sambil mengangkat
kepalanya menghadap langit. Nah,
sekarang saya bertanya, menurut
Anda, apakah para sahabat, al-
Imam Ahmad bin Hanbal dan
Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli
bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah
yang Anda paparkan tadi? Karena
jelas sekali, mereka melakukan
sesuatu yang belum pernah ada
pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam.”
Mendengar pertanyaan tersebut
Agus ternyata tidak mampu
menjawab dan malah bercerita
tentang bid’ah hasanah Ibn
Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini
diceritakan oleh beberapa teman
saya, antara lain Is dan AD yang
mengikuti acara daurah tersebut.
Demikianlah, konsep anti bid’ah
hasanah ala Wahhabi sangat lemah
dan rapuh. Tidak mampu
dipertahankan di arena diskusi
ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah
ala Wahhabi akan menemukan
jalan buntu ketika dihadapkan
dengan fakta bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
melegitimasi amaliah-amaliah baru
yang dilakukan oleh para sahabat.
Konsep tersebut akan runtuh pula
ketika dibenturkan dengan fakta
bahwa para sahabat sepeninggal
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam banyak melakukan inovasi
kebaikan dalam agama
sebagaimana diriwayatkan dalam
kitab-kitab hadits yang otoritatif
(mu’tabar).
==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan
Wahhabi” karya Ust. Muhammad
Idrus Ramli, alumni Pondok
Pesantren Sidogiri tahun
1424/2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar