Jumat, 29 Juni 2012

Seri Kontra Wahabi (2): AllahMaha Suci

Allah Ada tanpa Tempat
Keyakinan yang paling mendasar
setiap Muslim adalah meyakini
bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
Maha Sempurna dan Maha Suci dari
segala kekurangan. Allah
subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari
menyerupai makhluk-Nya. Allah
subhanahu wa ta‘ala juga Maha
Suci dari tempat dan arah. Allah
subhanahu wa ta‘ala ada tanpa
tempat. Demikian keyakinan yang
paling mendasar setiap Muslim
Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam
ilmu akidah atau teologi,
keyakinan semacam ini
dibahasakan, bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala memiliki sifat
Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu
Allah subhanahu wa ta‘ala wajib
tidak menyerupai makhluk-Nya.
Ada sebuah dialog yang unik
antara seorang Muslim Sunni yang
meyakini Allah subhanahu wa
ta‘ala ada tanpa tempat, dengan
seorang Wahhabi yang
berkeyakinan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala bertempat.
Wahhabi berkata: “Kamu ada pada
suatu tempat. Aku ada pada suatu
tempat. Berarti setiap sesuatu yang
ada, pasti ada tempatnya. Kalau
kamu berkata, Allah ada tanpa
tempat, berarti kamu berpendapat
Allah tidak ada.” Sunni menjawab;
“Sekarang saya akan bertanya
kepada Anda: “Bukankah Allah
telah ada tanpa tempat sebelum
diciptakannya tempat?” Wahhabi
menjawab: “Betul, Allah ada tanpa
tempat sebelum terciptanya
tempat.” Sunni berkata: “Kalau
memang wujudnya Allah tanpa
tempat sebelum terciptanya
tempat itu rasional, berarti rasional
pula dikatakan, Allah ada tanpa
tempat setelah terciptanya tempat.
Mengatakan Allah ada tanpa
tempat, tidak berarti menafikan
wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata: “Bagaimana
seandainya saya berkata, Allah
telah bertempat sebelum
terciptanya tempat?” Sunni
menjawab: “Pernyataan Anda
mengandung dua kemungkinan.
Pertama, Anda mengatakan bahwa
tempat itu bersifat azali (tidak ada
permulaannya), keberadaannya
bersama wujudnya Allah dan
bukan termasuk makhluk Allah.
Demikian ini berarti Anda
mendustakan firman Allah
subhanahu wa ta‘ala:
ﺍَﻟﻠﻪُ ﺧَﺎﻟِﻖُ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ) .ﺍﻟﺰﻣﺮ .(٦٢ :
“Allah-lah pencipta segala
sesuatu.” (QS. al-Zumar : 62).
Kemungkinan kedua, Anda
berpendapat, bahwa Allah itu baru,
yakni wujudnya Allah terjadi
setelah adanya tempat, dengan
demikian berarti Anda
mendustakan firman Allah
subhanahu wa ta‘ala:
ﻫُﻮَ ﺍْﻷَﻭَّﻝُ ﻭَﺍْﻵَﺧِﺮُ) .ﺍﻟﺤﺪﻳﺪ .(٣ :
“Dialah (Allah) Yang Maha Awal
(wujudnya tanpa permulaan) dan
Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa
akhir).” (QS. al-Hadid : 3).
Demikianlah dialog seorang Muslim
Sunni dengan orang Wahhabi. Pada
dasarnya, pendapat Wahhabi yang
meyakini bahwa wujudnya Allah
subhanahu wa ta‘ala ada dengan
tempat dapat menjerumuskan
seseorang keluar dari keyakinan
yang paling mendasar setiap
Muslim, yaitu Allah subhanahu wa
ta‘ala Maha Suci dari segala
kekurangan.
Tidak jarang, kaum Wahhabi
menggunakan ayat-ayat al-Qur’an
untuk membenarkan keyakinan
mereka, bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala bertempat di langit. Akan
tetapi, dalil-dalil mereka dapat
dengan mudah dipatahkan dengan
ayat-ayat al-Qur’an yang sama.
Ulama Maroko dan Wahhabi
Tuna Netra
Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad
bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani
adalah ulama ahli hadits yang
terakhir menyandang gelar al-
hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi
dalam bidang ilmu hadits). Ia
memiliki kisah perdebatan yang
sangat menarik dengan kaum
Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat
al-’Aththar, sebuah autobiografi
yang melaporkan perjalanan
hidupnya, beliau mencatat kisah
berikut ini.
“Pada tahun 1356 H ketika saya
menunaikan ibadah haji, saya
berkumpul dengan tiga orang
ulama Wahhabi di rumah Syaikh
Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang
juga ulama Wahhabi dari Najd.
Dalam pembicaraan itu, mereka
menampilkan seolah-olah mereka
ahli hadits, amaliahnya sesuai
dengan hadits dan anti taklid.
Tanpa terasa, pembicaraan pun
masuk pada soal penetapan
ketinggian tempat Allah subhanahu
wa ta‘ala dan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas
‘Arasy sesuai dengan ideologi
Wahhabi. Mereka menyebutkan
beberapa ayat al-Qur’an yang
secara literal (zhahir) mengarah
pada pengertian bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas
‘Arasy sesuai keyakinan mereka.
Akhirnya saya (al-Ghumari)
berkata kepada mereka: “Apakah
ayat-ayat yang Anda sebutkan
tadi termasuk bagian dari al-
Qur’an?” Wahhabi menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah meyakini
apa yang menjadi maksud ayat-
ayat tersebut dihukumi wajib?”
Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya
berkata: “Bagaimana dengan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻳْﻨَﻤَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ) .ﺍﻟﺤﺪﻳﺪ .(٤ :
“Dan Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada.” (QS. al-Hadid :
4).
Apakah ini termasuk al-Qur’an?”
Wahhabi tersebut menjawab: “Ya,
termasuk al-Qur’an.”
Saya berkata: “Bagaimana dengan
firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻣِﻦْ ﻧَﺠْﻮَﻯ ﺛَﻼَﺛَﺔٍ ﺇِﻻَّ ﻭَﻫُﻮَ
ﺭَﺍﺑِﻌُﻬُﻢْ) .ﺍﻟﻤﺠﺎﺩﻟﺔ .(٧ :
“Tiada pembicaraan rahasia antara
tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya….” (QS. al-Mujadilah :
7).
Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an
juga?” Wahhabi itu menjawab: “Ya,
termasuk al-Qur’an.” Saya berkata:
“(Kedua ayat ini menunjukkan
bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
tidak ada di langit). Mengapa Anda
menganggap ayat-ayat yang Anda
sebutkan tadi yang menurut
asumsi Anda menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit lebih utama untuk diyakini
dari pada kedua ayat yang saya
sebutkan yang menunjukkan
bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
tidak ada di langit? Padahal
kesemuanya juga dari Allah
subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu
menjawab: “Imam Ahmad
mengatakan demikian.”
Saya berkata kepada mereka:
“Mengapa kalian taklid kepada
Ahmad dan tidak mengikuti
dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun
terbungkam. Tak satu kalimat pun
keluar dari mulut mereka.
Sebenarnya saya menunggu
jawaban mereka, bahwa ayat-ayat
yang saya sebutkan tadi harus
dita’wil, sementara ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit
tidak boleh dita’wil. Seandainya
mereka menjawab demikian, tentu
saja saya akan bertanya kepada
mereka, siapa yang mewajibkan
menta’wil ayat-ayat yang saya
sebutkan dan melarang menta’wil
ayat-ayat yang kalian sebutkan
tadi?
Seandainya mereka mengklaim
adanya ijma’ ulama yang
mengharuskan menta’wil ayat-
ayat yang saya sebutkan tadi,
tentu saja saya akan menceritakan
kepada mereka informasi
beberapa ulama seperti al-Hafizh
Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf
untuk tidak menta’wil semua ayat-
ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan
yang wajib harus mengikuti
pendekatan tafwidh
(menyerahkan pengertiannya
kepada Allah subhanahu wa
ta‘ala).” Demikian kisah al-Imam
al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-
Ghumari dengan tiga ulama
terhebat kaum Wahhabi.
Dialog Terbuka di Surabaya dan
Blitar
Pada tahun 2009, saya pernah
terlibat perdebatan sengit dengan
seorang Ustadz Salafi berinisial AH
di Surabaya. Beberapa bulan
berikutnya saya berdebat lagi
dengan Ustadz Salafi di Blitar.
Ustadz tersebut berinisial AH pula,
tetapi lain orang. Dalam
perdebatan tersebut saya
bertanya kepada AH: “Mengapa
Anda meyakini bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH
menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an
yang menurut asumsinya
menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di langit.
Lalu saya berkata: “Ayat-ayat
yang Anda sebutkan tidak secara
tegas menunjukkan bahwa Allah
ada di langit. Karena kosa kata
istawa, menurut para ulama
memiliki 15 makna. Di samping itu,
apabila Anda berargumentasi
dengan ayat-ayat tersebut, maka
argumen Anda dapat dipatahkan
dengan ayat-ayat lain yang
menunjukkan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di
langit. Misalnya Allah subhanahu
wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia
bersama kamu di mana saja kamu
berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini
menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala bersama kita
di bumi, bukan ada di langit. Dalam
ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala
berfirman:
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲْ ﺫَﺍﻫِﺐٌ ﺇِﻟَﻰ ﺭَﺑِّﻲْ ﺳَﻴَﻬْﺪِﻳْﻦِ.
)ﺍﻟﺼﺎﻓﺎﺕ .(٩٩ :
“Dan Ibrahim berkata,
“Sesungguhnya aku pergi menuju
Tuhanku (Palestina), yang akan
memberiku petunjuk.” (QS. al-
Shaffat : 99).
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim
alaihissalam berkata akan pergi
menuju Tuhannya, padahal Nabi
Ibrahim alaihissalam pergi ke
Palestina. Dengan demikian, secara
literal ayat ini menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala bukan
ada di langit, tetapi ada di
Palestina.” Setelah saya berkata
demikian, AH tidak mampu
menjawab akan tetapi mengajukan
dalil lain dan berkata: “Keyakinan
bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
ada di langit telah dijelaskan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits shahih:
ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﻟِﻠْﺠَﺎﺭِﻳَﺔِ ﺍﻟﺴَّﻮْﺩَﺍﺀِ: ﺃَﻳْﻦَ ﺍﻟﻠﻪُ؟ ﻗَﺎﻟَﺖْ: ﻓِﻲ
ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ. ﻗَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﺃَﻧَﺎ؟ ﻗَﺎﻟَﺖْ: ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ.
ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻋْﺘِﻘْﻬَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٌ. ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepada seorang
budak perempuan yang berkulit
hitam: “Allah ada di mana?” Lalu
budak itu menjawab: “Allah ada di
langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia
menjawab: “Engkau Rasul Allah.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada majikan
budak itu, “Merdekakanlah budak
ini. Karena ia seorang budak yang
mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya
menjawab begini: “Ada tiga
tinjauan berkaitan dengan hadits
yang Anda sebutkan. Pertama, dari
aspek kritisisme ilmu hadits (naqd
al-hadits). Hadits yang Anda
sebutkan menurut para ulama
tergolong hadits mudhtharib (hadits
yang simpang siur
periwayatannya), sehingga
kedudukannya menjadi lemah dan
tidak dapat dijadikan hujjah.
Kesimpangsiuran periwayatan
hadits tersebut, dapat dilihat dari
perbedaan setiap perawi dalam
meriwayatkan hadits tersebut. Ada
yang meriwayatkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
bertanya di mana Allah subhanahu
wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya, apakah kamu bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para
ulama melakukan ta’wil terhadap
hadits tersebut dengan
mengatakan, bahwa yang
ditanyakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebenarnya
adalah bukan tempat, tetapi
kedudukan atau derajat Allah
subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang
tersebut menjawab kedudukan
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit, maksudnya Allah subhanahu
wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha
Tinggi.
Ketiga, apabila Anda berargumen
dengan hadits tersebut tentang
keyakinan Allah subhanahu wa
ta‘ala ada di langit, maka argumen
Anda dapat dipatahkan dengan
hadits lain yang lebih kuat dan
menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala tidak ada di
langit, bahkan ada di bumi. Al-
Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﺭَﺃَﻯ ﻧُﺨَﺎﻣَﺔً ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻓَﺤَﻜَّﻬَﺎ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻭَﺭُﺅِﻱَ
ﻣِﻨْﻪُ ﻛَﺮَﺍﻫِﻴَﺔٌ ﻭَﻗَﺎﻝَ: ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﺎﻡَ ﻓِﻲْ
ﺻَﻼَﺗﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﻨَﺎﺟِﻲْ ﺭَﺑَّﻪُ ﺃَﻭْ ﺭَﺑَّﻪُ ﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ
ﻗِﺒْﻠَﺘِﻪِ ﻓَﻼَ ﻳَﺒْﺰُﻗَﻦَّ ﻓِﻲْ ﻗِﺒْﻠَﺘِﻪِ ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻋَﻦْ
ﻳَﺴَﺎﺭِﻩِ ﺃَﻭْ ﺗَﺤْﺖَ ﻗَﺪَﻣِﻪِ. ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟْﺒُﺨَﺎﺭِﻱُّ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat dahak di
arah kiblat, lalu beliau
menggosoknya dengan
tangannya, dan beliau
kelihatannya tidak menyukai hal
itu. Lalu beliau bersabda:
“Sesungguhnya apabila salah
seorang kalian berdiri dalam shalat,
maka ia sesungguhnya berbincang-
bincang dengan Tuhannya, atau
Tuhannya ada di antara dirinya
dan kiblatnya. Oleh karena itu,
janganlah ia meludah ke arah
kiblatnya, akan tetapi meludahlah
ke arah kiri atau di bawah telapak
kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di depan
orang yang sedang shalat, bukan
ada di langit. Hadits ini jelas lebih
kuat dari hadits riwayat Muslim,
karena hadits ini riwayat al-
Bukhari. Setelah saya menjawab
demikian, AH juga tidak mampu
menanggapi jawaban saya.
Sepertinya dia merasa kewalahan
dan tidak mampu menjawab. Ia
justru mengajukan dalil lain dengan
berkata: “Keyakinan bahwa Allah
ada di langit itu ijma’ ulama salaf.”
Lalu saya jawab, “Tadi Anda
mengatakan bahwa dalil
keyakinan Allah ada di langit,
adalah ayat al-Qur’an. Kemudian
setelah argumen Anda kami
patahkan, Anda beragumen
dengan hadits. Lalu setelah
argumen Anda kami patahkan lagi,
Anda sekarang berdalil dengan
ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf
sejak generasi sahabat justru
meyakini Allah subhanahu wa
ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam
Abu Manshur al-Baghdadi berkata
dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
ﻭَﺃَﺟْﻤَﻌُﻮْﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﺤْﻮِﻳْﻪِ ﻣَﻜَﺎﻥٌ ﻭَﻻَ
ﻳَﺠْﺮِﻱْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺯَﻣَﺎﻥٌ
“Kaum Muslimin sejak generasi
salaf (para sahabat dan tabi’in)
telah bersepakat bahwa Allah tidak
bertempat dan tidak dilalui oleh
waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq,
256).
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga
berkata dalam al-’Aqidah al-
Thahawiyyah, risalah kecil yang
menjadi kajian kaum Sunni dan
Wahhabi:
ﻭَﻻَ ﺗَﺤْﻮِﻳْﻪِ ﺍﻟْﺠِﻬَﺎﺕُ ﺍﻟﺴِﺖُّ.
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak
dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian
kepada AH, saya bertanya kepada
AH: “Menurut Anda, tempat itu
makhluk apa bukan?” AH
menjawab: “Makhluk.” Saya
bertanya: “Kalau tempat itu
makhluk, lalu sebelum terciptanya
tempat, Allah ada di mana?” AH
menjawab: “Pertanyaan ini tidak
boleh, dan termasuk pertanyaan
yang bid’ah.” Demikian jawaban
AH, yang menimbulkan tawa para
hadirin dari semua kalangan pada
waktu itu. Kebetulan pada acara
tersebut, mayoritas hadirin terdiri
dari kalangan Salafi, anggota
jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-
orang Wahhabi. Ketika mereka
tidak dapat menjawab pertanyaan,
mereka tidak akan menjawab, aku
tidak tahu, sebagaimana tradisi
ulama salaf dulu. Akan tetapi
mereka akan menjawab,
“Pertanyaanmu bid’ah dan tidak
boleh.” AH sepertinya tidak
mengetahui bahwa pertanyaan
Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
mana sebelum terciptanyan alam,
telah ditanyakan oleh para sahabat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak berkata kepada
mereka, bahwa pertanyaan
tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-
Imam al-Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya:
ﻋَﻦْ ﻋِﻤْﺮَﺍﻥَ ﺑْﻦِ ﺣُﺼَﻴْﻦٍ ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲْ ﻋِﻨْﺪَ
ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇِﺫْ ﺩَﺧَﻞَ ﻧَﺎﺱٌ
ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻴَﻤَﻦِ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮْﺍ: ﺟِﺌْﻨَﺎﻙَ ﻟِﻨَﺘَﻔَﻘَّﻪَ ﻓِﻲ
ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻭَﻟِﻨَﺴْﺄَﻟَﻚَ ﻋَﻦْ ﺃَﻭَّﻝِ ﻫَﺬَﺍ ﺍْﻷَﻣْﺮِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ.
ﻗَﺎﻝَ: ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺷَﻲْﺀٌ ﻏَﻴْﺮُﻩُ.
)ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ.(
“Imran bin Hushain radhiyallahu
‘anhu berkata: “Aku berada
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tiba-tiba datang
sekelompok dari penduduk Yaman
dan berkata: “Kami datang untuk
belajar agama dan menanyakan
tentang permulaan yang ada ini,
bagaimana sesungguhnya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Allah telah ada
dan tidak ada sesuatu apapun
selain Allah.” (HR. al-Bukhari
[3191]).
Hadits ini menunjukkan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala tidak
bertempat. Allah subhanahu wa
ta‘ala ada sebelum adanya
makhluk, termasuk tempat. Al-
Imam al-Tirmidzi meriwayatkan
dengan sanad yang hasan dalam
al-Sunan berikut ini:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﺭَﺯِﻳْﻦٍ ﻗَﺎﻝَ ﻗُﻠْﺖُ : ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ
ﺃَﻳْﻦَ ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺑُّﻨَﺎ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﺨْﻠُﻖَ ﺧَﻠْﻘَﻪُ ؟ ﻗَﺎﻝَ
ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲْ ﻋَﻤَﺎﺀٍ ﻣَﺎ ﺗَﺤْﺘَﻪُ ﻫَﻮَﺍﺀٌ ﻭَﻣَﺎ ﻓَﻮْﻗَﻪُ
ﻫَﻮَﺍﺀٌ ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﻋَﺮْﺷَﻪُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺣْﻤَﺪُ
ﺑْﻦُ ﻣَﻨِﻴْﻊٍ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺰِﻳْﺪُ ﺑْﻦُ ﻫَﺎﺭُﻭْﻥَ ﺍﻟْﻌَﻤَﺎﺀُ ﺃَﻱْ
ﻟَﻴْﺲَ ﻣَﻌَﻪُ ﺷَﻲْﺀٌ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱُّ ﻭَﻫَﺬَﺍ
ﺣَﺪِﻳْﺚٌ ﺣَﺴَﻦٌ.
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu
berkata: “Aku berkata, wahai
Rasulullah, di manakah Tuhan kita
sebelum menciptakan makhluk-
Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: “Allah ada
tanpa sesuatu apapun yang
menyertainya. Di atasnya tidak
ada sesuatu dan di bawahnya tidak
ada sesuatu. Lalu Allah
menciptakan Arasy di atas air.”
Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa
Yazid bin Harun berkata, maksud
hadits tersebut, Allah ada tanpa
sesuatu apapun yang menyertai
(termasuk tempat). Al-Tirmidzi
berkata: “hadits ini bernilai hasan”.
(Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Dalam setiap dialog yang terjadi
antara Muslim Sunni dengan kaum
Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah
sekali mematahkan argumen
Wahhabi. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen dari ayat al-
Qur’an, maka dengan mudahnya
dipatahkan dengan ayat al-Qur’an
yang lain. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pasti kaum Sunni dengan
mudahnya mematahkan argumen
tersebut dengan hadits yang lebih
kuat. Dan ketika Sunni berargumen
dengan dalil rasional, pasti Wahhabi
tidak dapat membantah dan
menjawabnya. Keyakinan bahwa
Allah subhanahu wa ta‘ala ada
tanpa tempat adalah keyakinan
kaum Muslimin sejak generasi salaf,
kalangan sahabat dan tabi’in.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻻَ ﻣَﻜَﺎﻥَ ﻭَﻫُﻮَ ﺍْﻵَﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻛَﺎﻥَ
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada
sebelum adanya tempat. Dan
keberadaan Allah sekarang, sama
seperti sebelum adanya tempat
(maksudnya Allah tidak
bertempat).” (al-Farq bayna al-
Firaq, 256).
Syaikh al-Syanqithi dan Wahhabi
Tuna Netra
Ketika orang-orang Wahhabi
memasuki Hijaz dan membantai
kaum Muslimin dengan alasan
bahwa mereka telah syirik,
sebagaimana yang telah
dikabarkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
“Orang-orang Khawarij akan
membunuh orang-orang yang
beriman dan membiarkan para
penyembah berhala.” Mereka juga
membunuh seorang ulama
terkemuka.
Mereka menyembelih Syaikh
Abdullah al-Zawawi, guru para
ulama madzhab al-Syafi’i,
sebagaimana layaknya
menyembelih kambing. Padahal
usia beliau sudah di atas 90 tahun.
Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga
sudah memasuki usia senja juga
mereka sembelih.
Kemudian mereka memanggil sisa-
sisa ulama yang belum dibunuh
untuk diajak berdebat tentang
tauhid, Asma Allah subhanahu wa
ta‘ala dan sifat-sifat-Nya. Ulama
yang setuju dengan pendapat
mereka akan dibebaskan.
Sedangkan ulama yang
membantah pendapat mereka
akan dibunuh atau dideportasi dari
Hijaz.
Di antara ulama yang diajak
berdebat oleh mereka adalah
Syaikh Abdullah al-Syanqithi, salah
seorang ulama kharismatik yang
dikenal hafal Sirah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sedangkan dari
pihak Wahhabi yang
mendebatnya, di antaranya
seorang ulama mereka yang buta
mata dan buta hati. Kebetulan
perdebatan berkisar tentang teks-
teks al-Qur’an dan hadits yang
berkenaan dengan sifat-sifat Allah
subhanahu wa ta‘ala. Mereka
bersikeras bahwa teks-teks
tersebut harus diartikan secara
literal dan tekstual, dan tidak boleh
diartikan secara kontekstual dan
majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari
adanya majaz dalam al-Qur’an.
Bahkan lebih jauh lagi, ia
menafikan majaz dalam bahasa
Arab, karena taklid buta kepada
pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-
Qayyim. Lalu Syaikh Abdullah al-
Syanqithi berkata kepada si tuna
netra itu:
“Apabila Anda berpendapat bahwa
majaz itu tidak ada dalam al-
Qur’an, maka sesungguhnya Allah
subhanahu wa ta‘ala telah
berfirman dalam al-Qur’an:
ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲْ ﻫَﺬِﻩِ ﺃَﻋْﻤَﻰ ﻓَﻬُﻮَ ﻓِﻲ
ﺍْﻵَﺧِﺮَﺓِ ﺃَﻋْﻤَﻰ ﻭَﺃَﺿَﻞُّ ﺳَﺒِﻴْﻼً.
)ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ .(٧٢:
“Dan barangsiapa yang buta di
dunia ini, niscaya di akhirat (nanti)
ia akan lebih buta (pula) dan lebih
tersesat dari jalan (yang
benar).” (QS. al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat di atas, apakah
Anda berpendapat bahwa setiap
orang yang tuna netra di dunia,
maka di akhirat nanti akan menjadi
lebih buta dan lebih tersesat, sesuai
dengan pendapat Anda bahwa
dalam al-Qur’an tidak ada majaz?”
Mendengar sanggahan Syaikh al-
Syanqithi, ulama Wahhabi yang
tuna netra itu pun tidak mampu
menjawab. Ia hanya berteriak dan
memerintahkan anak buahnya
agar Syaikh al-Syanqithi
dikeluarkan dari majlis perdebatan.
Kemudian si tuna netra itu
meminta kepada Ibn Saud agar
mendeportasi al-Syanqithi dari
Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi
ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh
al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam
kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Al-Imam al-Bukhari dan Ta’wil
Kalau kita mengamati dengan
seksama, perdebatan orang-orang
Wahhabi dengan para ulama
Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan
mudah kita simpulkan, bahwa
kaum Wahhabi seringkali
mengeluarkan vonis hukum tanpa
memiliki dasar ilmiah yang dapat
dipertanggung jawabkan. Bahkan
tidak jarang, pernyataan mereka
dapat menjadi senjata untuk
memukul balik pandangan mereka
sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis
dari Medan bercerita kepada saya.
“Ada sebuah pesantren di kota
Siantar, Siamlungun, Sumatera
Utara. Pesantren itu bernama
Pondok Pesantren Darus Salam.
Setiap tahun, Pondok tersebut
mengadakan Maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
mengundang sejumlah ulama dari
berbagai daerah termasuk Medan
dan Aceh. Acara puncak biasanya
ditaruh pada siang hari. Malam
harinya diisi dengan diskusi. Pada
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tahun 2010 ini saya dan
beberapa orang ustadz diminta
sebagai pembicara dalam acara
diskusi. Kebetulan diskusi kali ini
membahas tentang Salafi apa dan
mengapa, dengan judul Ada Apa
Dengan Salafi?
Setelah presentasi tentang aliran
Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya
jawab. Ternyata dalam sesi tanya
jawab ini ada orang yang
berpakaian gamis mengajukan
keberatan dengan pernyataan
saya dalam memberikan
keterangan tentang Salafi, antara
lain berkaitan dengan ta’wil. Orang
Salafi tersebut mengatakan: “Al-
Qur’an itu diturunkan dengan
bahasa Arab. Sudah barang tentu
harus kita fahami sesuai dengan
bahasa Arab pula”. Pernyataan
orang Salafi itu, saya dengarkan
dengan cermat. Kemudian dia
melanjutkan keberatannya dengan
berkata: “Ayat-ayat al-Qur’an itu
tidak perlu dita’wil dan ini pendapat
Ahlussunnah”.
Setelah diselidiki, ternyata pemuda
Salafi itu bernama Sofyan. Ia
berprofesi sebagai guru di lembaga
As-Sunnah, sebuah lembaga
pendidikan orang-orang Wahhabi
atau Salafi. Mendengar pernyataan
Sofyan yang terakhir, saya
bertanya: “Apakah Anda yakin
bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli
hadits?” Sofyan menjawab: “Ya,
tidak diragukan lagi, beliau seorang
ahli hadits.”
Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari
penganut faham Ahlussunnah Wal-
Jama’ah?” Sofyan menjawab: “Ya.”
Saya berkata: “Apakah al-Albani
seorang ahli hadits?” Sofyan
menjawab: “Ya, dengan karya-
karya yang sangat banyak dalam
bidang hadits, membuktikan
bahwa beliau juga ahli hadits.”
Saya berkata: “Kalau benar al-
Bukhari menganut Ahlussunnah,
berarti al-Bukhari tidak melakukan
ta’wil. Bukankah begitu keyakinan
Anda?” Sofyan menjawab: “Benar
begitu.”
Saya berkata: “Saya akan
membuktikan kepada Anda,
bahwa al-Bukhari juga melakukan
ta’wil .” Sofyan berkata: “Mana
buktinya?” Mendengar pertanyaan
Sofyan, saya langsung membuka
Shahih al-Bukhari tentang ta’wil
yang beliau lakukan dan
memberikan photo copynya
kepada anak muda itu. Saya
berkata: “Anda lihat pada halaman
ini, al-Imam al-Bukhari
mengatakan:
ﺑَﺎﺏُ – ﻛُﻞُّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻫَﺎﻟِﻚٌ ﺇِﻻَّ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺍَﻱْ ﻣُﻠْﻜَﻪُ.
Artinya, “Bab tentang ayat : Segala
sesuatu akan hancur kecuali
Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-
Nya.”
Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam
al-Bukhari diartikan dengan
mulkahu, artinya kekuasaan-Nya.
Kalau begitu al-Imam al-Bukhari
melakukan ta’wil terhadap ayat ini.
Berarti, menurut logika Anda, al-
Bukhari seorang yang sesat, bukan
Ahlussunnah. Anda setuju bahwa
al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan
pengikut aliran sesat?”.
Mendengar pertanyaan saya,
Sofyan hanya terdiam. Sepatah
katapun tidak terlontar dari
lidahnya. Kemudian saya berkata:
“Kalau begitu, sejak hari ini,
sebaiknya Anda jangan memakai
hadits al-Bukhari sebagai rujukan.
Bahkan Syaikh al-Albani, orang
yang saudara puji itu, dan orang-
orang Salafi memujinya dan
menganggapnya lebih hebat dari
al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-
Albani telah mengkritik al-Imam al-
Bukhari dengan kata-kata yang
tidak pantas. Al-Albani berkata:
“Pendapat al-Bukhari yang
melakukan ta’wil terhadap ayat di
atas ini tidak sepatutnya diucapkan
oleh seorang Muslim yang
beriman”. Inilah komentar Syaikh
Anda, al-Albani tentang ta’wil al-
Imam al-Bukhari ketika menta’wil
ayat:
ﺑَﺎﺏُ – ﻛُﻞُّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻫَﺎﻟِﻚٌ ﺇِﻻَّ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﺍَﻱْ ﻣُﻠْﻜَﻪُ.
Secara tidak langsung, seolah-olah
al-Albani mengatakan bahwa
ta’wilan al-Imam al-Bukhari
tersebut pendapat orang kafir.
Kemudian saya mengambil photo
copy buku fatwa al-Albani dan
saya serahkan kepada anak muda
Salafi ini. Ia pun diam seribu
bahasa. Demikian kisah yang
dituturkan oleh Syafi’i Umar Lubis
dari Medan, seorang ulama muda
yang kharismatik dan
bersemangat dalam membela
Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Ta’wil Imam Ahmad bin Hanbal
Ta’wil tehadap teks-teks
mutasyabihat telah dilakukan oleh
para ulama salaf, di antaranya
Imam Malik bin Anas, Imam
Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Akan tetapi kaum Wahhabi sering
kali mengingkari fakta-fakta
tersebut dengan berbagai macam
alasan yang tidak ilmiah dan selalu
dibuat-buat. Seorang teman saya,
berinisial AD menceritakan
pengalamannya ketika berdialog
dengan AM, tokoh Wahhabi
kelahiran Sumatera yang sekarang
tinggal di Jember. AD bercerita
begini.
“Sekitar bulan Maret tahun 2010
lalu, saya mengikuti suatu acara di
Jakarta Selatan. Acara tersebut
diadakan oleh salah satu ormas
Islam di Indonesia. Dalam acara itu,
ada seorang pemateri Wahhabi
yang berasal dari Sumatera dan
saat ini tinggal di Jember. Di antara
materi yang disampaikannya
adalah persoalan ta’wil. Dalam
pandangannya, ta’wil atas ayat-
ayat mutasyabihat tidak boleh
dilakukan. Sehingga dengan asumsi
demikian, ia meyakini bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala itu bertempat
atau berada di atas ‘Arasy. Dia
menggunakan ayat al-Rahman ‘ala
al-‘Arsy istawa (QS. Thaha : 5).
Lalu saya mengajukan beberapa
ayat lain yang justru menunjukkan
kalau Allah subhanahu wa ta‘ala
tidak ada di atas ‘Arasy. Akibatnya,
terjadiah dialog sengit antara saya
dengan Ustadz lulusan Madinah
tersebut. Lalu setelah itu, saya
membeberkan fakta dan data-data
akurat bahwa tradisi ta’wil sudah
biasa dilakukan oleh ulama salaf.
Salah satunya adalah ta’wil yang
dilakukan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal atas ayat wa ja’a rabbuka
wal malaku shaffan-shaffa (QS. al-
Fajr : 22). Imam Ahmad mentakwil
ayat tersebut dengan ja’a
tsawabuhu wa qhadha’uhu
(datangnya pahala dan ketetapan
Allah subhanahu wa ta‘ala). Setelah
itu, Ustadz Ali Musri mencari ta’wil
Imam Ahmad tersebut di software
Maktabah Syamilah. Setelah dia
menemukannya, dia membacakan
komentar Imam al-Baihaqi yang
berbunyi hadza al-isnad la ghubara
‘alaih (sanad ini tidak ada nodanya
alias bersih) yang menunjukkan
bahwa sanadnya memang shahih.
Ternyata, aneh sekali, Ustadz
tersebut tertawa dan menganggap
bahwa komentar atau penilaian al-
Baihaqi yang berupa redaksi hadza
al-isnad la ghubara ’alaih tersebut
sebagai shighat (redaksi) yang
menunjukkan atas kelemahan
suatu sanad. Saya juga heran,
mengapa Ustadz lulusan Madinah
tersebut tidak begitu memahami
istilah-istilah yang biasa dipakai
oleh para ahli hadits. Ia tidak
mengerti bahwa pernyataan al-
Baihaqi yang berbunyi hadza al-
isnad la ghubara ’alaih bermakna
bahwa sanad riwayat ini tidak ada
nodanya sama sekali, alias shahih.
Sayangnya, berhubung waktu
yang disediakan oleh panitia dan
moderator telah habis, saya tidak
bisa membantah dan
mengomentari kembali
pernyataan pemateri itu.”
Demikian kisah AD, kepada saya
secara pribadi.
==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan
Wahhabi” karya Ust. Muhammad
Idrus Ramli, alumni Pondok
Pesantren Sidogiri tahun
1424/2004.

1 komentar: