Seri Kontra Wahabi (1): Ngalap
Barokah
Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi
kontemporer di Saudi Arabia yang
sangat populer dan kharismatik-,
mempunyai seorang guru yang
sangat alim dan kharismatik di
kalangan kaum Wahhabi, yaitu
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-
Sa’di. Ia dikenal dengan julukan
Syaikh Ibnu Sa’di. Ia memiliki
banyak karangan, di antaranya
yang paling populer adalah
karyanya yang berjudul, Taisir al-
Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-
Mannan, kitab tafsir setebal 5 jilid,
yang mengikuti paradigma
pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di
kalangan Wahhabi menyamai
kedudukan Tafsir al-Jalalain di
kalangan kaum Sunni.
Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai
ulama Wahhabi yang ekstrem.
Namun demikian, terkadang ia
mudah insyaf dan mau mengikuti
kebenaran, dari manapun
kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid
‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani
(ayahanda al-Sayyid Muhammad
bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-
duduk di serambi Masjidil Haram
bersama murid-muridnya dalam
halaqah pengajiannya. Di bagian
lain serambi Masjidil Haram
tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga
duduk-duduk bersama anak
buahnya. Sementara orang-orang
di Masjidil Haram sedang larut
dalam ibadah. Ada yang shalat dan
ada pula yang thawaf. Pada saat
itu, langit di atas Masjidil Haram
diselimuti mendung tebal yang
menggelantung. Sepertinya
sebentar lagi hujan lebat akan
segera mengguyur tanah suci umat
Islam itu.
Tiba-tiba air hujan itu pun turun
dengan lebatnya. Akibatnya,
saluran air di atas Ka’bah
mengalirkan air hujan itu dengan
derasnya. Melihat air begitu deras
dari saluran air di atas kiblat kaum
Muslimin yang berbentuk kubus itu,
orang-orang Hijaz seperti
kebiasaan mereka, segera
berhamburan menuju saluran itu
dan mengambil air tersebut. Air itu
mereka tuangkan ke baju dan
tubuh mereka, dengan harapan
mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para
polisi pamong praja Kerajaan Saudi
Arabia, yang sebagian besar
berasal dari orang Baduwi daerah
Najd itu, menjadi terkejut dan
mengira bahwa orang-orang Hijaz
tersebut telah terjerumus dalam
lumpur kesyirikan dan
menyembah selain Allah
subhanahu wa ta’ala dengan
ngalap barokah dari air itu.
Akhirnya para polisi pamong praja
itu menghampiri kerumunan
orang-orang Hijaz dan berkata
kepada mereka yang sedang
mengambil berkah air hujan yang
mengalir dari saluran air Ka’bah itu,
“Hai orang-orang musyrik, jangan
lakukan itu. Itu perbuatan syirik.
Itu perbuatan syirik. Hentikan!”
Demikian teguran keras para polisi
pamong praja kerajaan Wahhabi
itu.
Mendengar teguran para polisi
pamong praja itu, orang-orang
Hijaz itu pun segera membubarkan
diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi
yang sedang mengajar murid-
muridnya di halaqah tempat beliau
mengajar secara rutin. Kepada
beliau, mereka menanyakan
perihal hukum mengambil berkah
dari air hujan yang mengalir dari
saluran air di Ka’bah itu. Ternyata
Sayyid ‘Alwi membolehkan dan
bahkan mendorong mereka untuk
terus melakukannya.
Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang
melegitimasi perbuatan mereka,
akhirnya untuk yang kedua
kalinya, orang-orang Hijaz itu pun
berhamburan lagi menuju saluran
air di Ka’bah itu, dengan tujuan
mengambil berkah air hujan yang
jatuh darinya, tanpa
mengindahkan teguran para polisi
Baduwi tersebut. Bahkan ketika
para polisi Baduwi itu menegur
mereka untuk yang kedua kalinya,
orang-orang Hijaz itu menjawab,
“Kami tidak peduli teguran Anda,
setelah Sayyid ‘Alwi berfatwa
kepada kami tentang kebolehan
mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang
Hijaz itu tidak mengindahkan
teguran, para polisi Baduwi itu pun
segera mendatangi halaqah Syaikh
Ibnu Sa’di, guru mereka. Mereka
mengadukan perihal fatwa Sayyid
‘Alwi yang menganggap bahwa air
hujan itu ada berkahnya. Akhirnya,
setelah mendengar laporan para
polisi Baduwi, yang merupakan
anak buahnya itu, Syaikh Ibnu
Sa’di segera mengambil
selendangnya dan bangkit berjalan
menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi.
Kemudian dengan perlahan Syaikh
Ibn Sa’di itu duduk di sebelah
Sayyid ‘Alwi. Sementara orang-
orang dari berbagai golongan,
berkumpul mengelilingi kedua
ulama besar itu. Mereka
menunggu-nunggu, apa yang akan
dibicarakan oleh dua ulama besar
itu.
Dengan penuh sopan santun dan
etika layaknya seorang ulama
besar, Syaikh Ibnu Sa’di bertanya
kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai
Sayyid, benarkah Anda berkata
kepada orang-orang itu bahwa air
hujan yang turun dari saluran air di
Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn
Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab:
“Benar. Bahkan air tersebut
memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut,
Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan
berkata: “Bagaimana hal itu bisa
terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman dalam Kitab-Nya
tentang air hujan:
ﻭَﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻣَﺎﺀً ﻣُﺒَﺎﺭﻛَﺎً) .ﻕ .(٩ :
“Dan Kami turunkan dari langit air
yang mengandung berkah.” (QS.
50 : 9).
Allah subhanahu wa ta’ala juga
berfirman mengenai Ka’bah:
ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﺑَﻴْﺖٍ ﻭُﺿِﻊَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻟَﻠَّﺬِﻱْ ﺑِﺒَﻜَّﺔَ
ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ) .ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ .(٩٦ :
“Sesungguhnya rumah yang
pertama kali diletakkan bagi umat
manusia adalah rumah yang ada di
Bekkah (Makkah), yang diberkahi
(oleh Allah).” (QS. 3 : 96).
Dengan demikian air hujan yang
turun dari saluran air di atas Ka’bah
itu memiliki dua berkah, yaitu
berkah yang turun dari langit dan
berkah yang terdapat pada
Baitullah ini.”
Mendengar jawaban tersebut,
Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran
dan kagum kepada Sayyid ‘Alwi.
Kemudian dengan penuh
kesadaran, mulut Syaikh Ibnu Sa’di
itu melontarkan perkataan yang
sangat mulia, sebagai
pengakuannya akan kebenaran
ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah
(Maha Suci Allah), bagaimana kami
bisa lalai dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di
mengucapkan terima kasih kepada
Sayyid ‘Alwi dan meminta izin
untuk meninggalkan halaqah
tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi
berkata kepada Syaikh Ibnu Sa’di:
“Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu
Sa’di. Aku melihat para polisi
baduwi itu mengira bahwa apa
yang dilakukan oleh kaum
Muslimin dengan mengambil
berkah air hujan yang mengalir
dari saluran air di Ka’bah itu
sebagai perbuatan syirik. Mereka
tidak akan berhenti mengkafirkan
dan mensyirikkan orang dalam
masalah ini sebelum mereka
melihat orang seperti Anda
melarang mereka. Oleh karena itu,
sekarang bangkitlah Anda menuju
saluran air di Ka’bah itu. Lalu
ambillah air di situ di depan para
polisi Baduwi itu, sehingga mereka
akan berhenti mensyirikkan orang
lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyid
‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera
bangkit menuju saluran air di
Ka’bah. Ia basahi pakaiannya
dengan air itu, dan ia pun
mengambil air itu untuk
diminumnya dengan tujuan
mengambil berkahnya. Melihat
tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para
polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi
meninggalkan Masjidil Haram
dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh
Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab
Tsabat (kumpulan sanad-sanad
keilmuannya). Beliau murid Sayyid
‘Alwi al-Maliki dan termasuk salah
seorang saksi mata kejadian itu.
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya
seorang yang sangat alim. Ia pakar
dalam bidang tafsir. Apabila
berbicara tafsir, ia mampu
menguraikan makna dan maksud
ayat al-Qur’an dari berbagai
aspeknya di luar kepala dengan
bahasa yang sangat bagus dan
mudah dimengerti. Akan tetapi
sayang, ideologi Wahhabi yang
diikutinya berpengaruh terhadap
paradigma pemikiran beliau.
Aroma Wahhabi sangat kental
dengan tafsir yang ditulisnya.
Ngalap Berkah
Berkah (barokah) diartikan dengan
tambahnya kebaikan (ziyadah al-
khair). Sedangkan tabarruk
bermakna mencari tambahnya
kebaikan atau ngalap barokah
(thalab ziyadah al-khair). Demikian
para ulama menjelaskan.
Masyarakat kita seringkali
mendatangi orang-orang saleh dan
para ulama sepuh dengan tujuan
tabarruk. Para ulama dan orang
saleh memang ada barokahnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ
ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ﺍَﻟْﺒَﺮَﻛَﺔُ
ﻣَﻊَ ﺃَﻛَﺎﺑِﺮِﻛُﻢْ .“ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ (١٩١٢) ﻭﺃﺑﻮ
ﻧﻌﻴﻢ ﻓﻲ “ﺍﻟﺤﻠﻴﺔ” )(٨/١٧٢ ﻭ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ
ﻓﻲ “ﺍﻟﻤﺴﺘﺪﺭﻙ” )(١/٦٢ ﻭ ﺍﻟﻀﻴﺎﺀ ﻓﻲ
“ﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭﺓ” )(٦٤/٣٥/٢ ﻭ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ :
“ﺻﺤﻴﺢ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ” . ﻭ ﻭﺍﻓﻘﻪ
ﺍﻟﺬﻫﺒﻲ.
“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Berkah Allah
bersama orang-orang besar di
antara kamu.” (HR. Ibn Hibban
(1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah
(8/172), al-Hakim dalam al-
Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’
dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-
Hakim berkata, hadits ini shahih
sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-
Dzahabi menyetujuinya.)
Al-Imam al-Munawi menjelaskan
dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits
tersebut mendorong kita mencari
berkah Allah subhanahu wa ta’ala
dari orang-orang besar dengan
memuliakan dan mengagungkan
mereka. Orang besar di sini bisa
dalam artian besar ilmunya seperti
para ulama, atau kesalehannya
seperti orang-orang saleh. Bisa
pula, besar dalam segi usia, seperti
orang-orang yang lebih tua.
Dalam sebuah diskusi di Masjid At-
Taqwa, Denpasar Bali, ada peserta
yang bertanya, “Bagaimana Islam
menanggapi orang-orang yang
melakukan ziarah ke makam para
wali dengan tujuan mencari
berkah?”
Di antara amal yang dapat
mendekatkan seseorang kepada
Allah subhanahu wa ta’ala adalah
ziarah makam para nabi atau para
wali. Baik ziarah tersebut dilakukan
dengan tujuan mengucapkan
salam kepada mereka atau karena
tujuan tabarruk (ngalap barokah)
dengan berziarah ke makam
mereka. Maksud tabarruk di sini
adalah mencari barokah dari Allah
subhanahu wa ta’ala dengan cara
berziarah ke makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam
para wali dengan tujuan tabarruk,
maka ziarah tersebut dapat
mendekatkannya kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dan tidak
menjauhkannya dari Allah
subhanahu wa ta’ala. Orang yang
berpendapat bahwa ziarah wali
dengan tujuan tabarruk itu syirik,
jelas keliru. Ia tidak punya dalil,
baik dari al-Qur’an maupun dari
hadits Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin
al-’Iraqi berkata ketika
menguraikan maksud hadits:
ﺃَﻥَّ ﻣُﻮْﺳَﻰ u ﻗَﺎﻝَ: ﺭَﺏِّ ﺃَﺩْﻧِﻨِﻲْ ﻣِﻦَ ﺍْﻷَﺭْﺽِ
ﺍﻟْﻤُﻘَﺪَّﺳَﺔِ ﺭَﻣْﻴَﺔً ﺑِﺤَﺠَﺮٍ ﻭَﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗَﺎﻝَ: »ﻭَﺍﻟﻠﻪِ ﻟَﻮْ ﺃَﻧِّﻲْ ﻋِﻨْﺪَﻩُ
ﻷَﺭَﻳْﺘُﻜُﻢْ ﻗَﺒْﺮَﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺟَﻨْﺐِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻖِ ﻋِﻨْﺪَ
ﺍﻟْﻜَﺜِﻴْﺐِ ﺍﻟْﺄَﺣْﻤَﺮِ.«
“Sesungguhnya Nabi Musa u
berkata, “Ya Allah, dekatkanlah
aku kepada tanah suci sejauh satu
lemparan dengan batu.” Nabi
shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Demi Allah, seandainya
aku ada disampingnya, tentu aku
beritahu kalian letak makam Musa,
yaitu di tepi jalan di sebelah bukit
pasir merah.”
Ketika menjelaskan maksud hadits
tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:
ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺍﺳْﺘِﺤْﺒَﺎﺏُ ﻣَﻌْﺮِﻓَﺔِ ﻗُﺒُﻮْﺭِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ
ﻟِﺰِﻳَﺎﺭَﺗِﻬَﺎ ﻭَﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡِ ﺑِﺤَﻘِّﻬَﺎ، ﻭَﻗَﺪْ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟِﻘَﺒْﺮِ ﺍﻟﺴَّﻴِّﺪِ
ﻣُﻮْﺳَﻰ u ﻋَﻼَﻣَﺔً ﻫِﻲَ ﻣَﻮْﺟُﻮْﺩَﺓٌ ﻓِﻲْ ﻗَﺒْﺮٍ
ﻣَﺸْﻬُﻮْﺭٍ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺍْﻵَﻥَ ﺑِﺄَﻧَّﻪُ ﻗَﺒْﺮُﻩُ،
ﻭَﺍﻟﻈَّﺎﻫِﺮُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤَﻮْﺿِﻊَ ﺍﻟْﻤَﺬْﻛُﻮْﺭَ ﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ
ﺃَﺷَﺎﺭَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻭَﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ.
“Hadits tersebut menjelaskan
anjuran mengetahui makam
orang-orang saleh untuk dizarahi
dan dipenuhi haknya. Nabi
shallallahu alaihi wa sallam telah
menyebutkan tanda-tanda makam
Nabi Musa u yaitu pada makam
yang sekarang dikenal masyarakat
sebagai makam beliau. Yang jelas,
tempat tersebut adalah makam
yang ditunjukkan oleh Nabi
shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh
al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu
sunnat dan ada pahalanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ » :
ﻛُﻨْﺖُ ﻧَﻬَﻴْﺘُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺯِﻳَﺎﺭَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭِ ﻓَﺰُﻭْﺭُﻭْﻫَﺎ
« ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ).(٧/٤٦ ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ » ﻓَﻤَﻦْ
ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﺰُﻭْﺭَ ﺍﻟْﻘُﺒُﻮْﺭَ ﻓَﻠْﻴَﺰُﺭْ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺗُﺬَﻛِّﺮُﻧَﺎ
ﺍْﻵَﺧِﺮَﺓَ.«
“Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Dulu aku
melarang kamu ziarah kubur.
Sekarang ziarahlah.” (HR. Muslim).
Dalam satu riwayat, “Barangsiapa
yang henda ziarah kubur maka
ziarahlah, karena hal tersebut
dapat mengingatkan kita pada
akhirat.” (Riyadh al-Shalihin [bab
66]).
Di sini mungkin ada yang bertanya,
adakah dalil yang menunjukkan
bolehnya ziarah kubur dengan
tujuan tabarruk dan tawassul?
Sebagaimana dimaklumi, tabarruk
itu punya makna keinginan
mendapat berkah dari Allah
subhanahu wa ta’ala dengan
berziarah ke makam nabi atau
wali. Kemudian para nabi itu
meskipun telah pindah ke alam
baka, namun pada hakekatnya
mereka masih hidup. Dengan
demikian, tidak mustahil apabila
mereka merasakan datangnya
orang yang ziarah, maka mereka
akan mendoakan peziarah itu
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda:
ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ:
»ﺍَﻻَﻧْﺒِﻴَﺎﺀُ ﺃَﺣْﻴَﺎﺀٌ ﻓِﻲْ ﻗُﺒُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﻳُﺼَﻠُّﻮْﻥَ«
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Para nabi itu
hidup di alam kubur mereka
seraya menunaikan shalat.” (HR. al-
Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya’,
[1]).
Sebagai penegasan bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam yang
telah wafat, dapat mendoakan
orang yang masih hidup, adalah
hadits berikut ini:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮْﺩٍ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ
ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
ﻗَﺎﻝَ: »ﺣَﻴَﺎﺗِﻲْ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻜُﻢْ ﺗُﺤْﺪِﺛُﻮْﻥَ ﻭَﻳُﺤْﺪَﺙُ
ﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻤَﺎﺗِﻲْ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻜُﻢْ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺃَﻧَﺎ ﻣِﺖُّ
ﻋُﺮِﺿَﺖْ ﻋَﻠَﻲَّ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟُﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥْ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺧَﻴْﺮًﺍ
ﺣَﻤِﺪْﺕُ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺇِﻥْ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﻏَﻴْﺮَ ﺫَﻟِﻚَ ﺍِﺳْﺘَﻐْﻔَﺮْﺕُ
ﻟَﻜُﻢْ « ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺍﻟْﺒَﺰَّﺍﺭُ.
“Dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: “Hidupku lebih baik bagi
kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku
dapat menjelaskan hukumnya.
Wafatku juga lebih baik bagi kalian.
Apabila aku wafat, maka amal
perbuatan kalian ditampakkan
kepadaku. Apabila aku melihat
amal baik kalian, aku akan memuji
kepada Allah. Dan apabila aku
melihat sebaliknya, maka aku
memintakan ampun kalian kepada
Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).
Karena keyakinan bahwa para
nabi itu masih hidup di alam kubur
mereka, kaum salaf sejak generasi
sahabat melakukan tabarruk
dengan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam setelah beliau wafat.
Hakekat bahwa para nabi dan
orang saleh itu masih hidup di alam
kubur, sehingga para peziarah
dapat bertabarruk dan bertawassul
dengan mereka, telah disebutkan
oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut
ini:
ﻭَﻻَ ﻳَﺪْﺧُﻞُ ﻓِﻲْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺒَﺎﺏِ )ﺃَﻱْ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤُﻨْﻜَﺮَﺍﺕِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒِ( ﻣَﺎ ﻳُﺮْﻭَﻯ ﻣِﻦْ ﺃَﻥَّ
ﻗَﻮْﻣًﺎ ﺳَﻤِﻌُﻮْﺍ ﺭَﺩَّ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡِ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﺮِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃَﻭْ ﻗُﺒُﻮْﺭِ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ﻣِﻦَ
ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ ﻭَﺃَﻥَّ ﺳَﻌِﻴْﺪَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﻤُﺴَﻴَّﺐِ ﻛَﺎﻥَ
ﻳَﺴْﻤَﻌُﺎْﻷَﺫَﺍﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﺒْﺮِ ﻟَﻴَﺎﻟِﻲَ ﺍﻟْﺤَﺮَّﺓِ ﻭَﻧَﺤْﻮُ
ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻬَﺬَﺍ ﻛُﻠُّﻪُ ﺣَﻖٌّ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻤَّﺎ ﻧَﺤْﻦُ ﻓِﻴْﻪِ
ﻭَﺍْﻷَﻣْﺮُﺃَﺟَﻞُّ ﻣِﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻭَﺃَﻋْﻈَﻢُ ﻭَﻛَﺬَﻟِﻚَ ﺃَﻳْﻀًﺎ
ﻣَﺎ ﻳُﺮْﻭَﻯ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺟَﺎﺀَ ﺇِﻟَﻰ ﻗَﺒْﺮِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﺸَﻜَﺎ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺍﻟْﺠَﺪَﺏَ
ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟﺮَّﻣَﺎﺩَﺓِ ﻓَﺮَﺁﻩُ ﻭَﻫُﻮَ ﻳَﺄْﻣُﺮُﻩُ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﺗِﻲَ
ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻴَﺄْﻣُﺮَﻫُﺄَﻥْ ﻳَﺨْﺮُﺝَ ﻓَﻴَﺴْﺘَﺴْﻘِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ
ﻓَﺈِﻥَّ ﻫَﺬَﺍ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺒَﺎﺏِ ﻭَﻣِﺜْﻞُ ﻫَﺬَﺍ
ﻳَﻘَﻊُ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻟِﻤَﻨْﻬُﻮَ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭَﺃَﻋْﺮِﻑُ ﻣِﻦْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﻮَﻗَﺎﺋِﻊِ
ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ. )ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ، ﺍﻗﺘﻀﺎﺀ ﺍﻟﺼﺮﺍﻁ
ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢ .(١/٣٧٣
“Tidak masuk dalam bagian ini
(kemungkaran menurut ulama
salaf) adalah apa yang
diriwayatkan bahwa sebagian
kaum mendengar jawaban salam
dari makam Nabi shallallahu alaihi
wa sallam atau makam orang-
orang saleh, juga Sa’id bin al-
Musayyab mendengar adzan dari
makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam pada malam-malam
peristiwa al-Harrah dan
sesamanya. Ini semuanya benar,
dan bukan yang kami persoalkan.
Persoalannya lebih besar dan lebih
serius dari hal tersebut. Demikian
pula bukan termasuk
kemungkaran, adalah apa yang
diriwayatkan bahwa seorang laki-
laki datang ke makam Nabi
shallallahu alaihi wa sallam lalu
mengadukan musim kemarau
kepada beliau pada tahun
ramadah (paceklik). Lalu orang
tersebut bermimpi Nabi shallallahu
alaihi wa sallam dan menyuruhnya
untuk mendatangi Umar bin al-
Khaththab agar keluar melakukan
istisqa’ dengan masyarakat. Ini
bukan termasuk kemungkaran. Hal
semacam ini banyak sekali terjadi
dengan orang-orang yang
kedudukannya di bawah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, dan
aku sendiri banyak mengetahui
peristiwa-peristiwa seperti
ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal.
373).
Kisah laki-laki yang datang ke
makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam di atas, telah dijelaskan
secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn
Katsir al-Dimasyqi, murid
terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah,
dalam kitabnya al-Bidayah wa al-
Nihayah. Beliau berkata:
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺤَﺎﻓِﻆُ ﺍَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﺍﻟْﺒَﻴْﻬَﻘِﻲُّ ﺍَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ ﺍَﺑُﻮْ
ﻧَﺼْﺮٍ ﺑْﻦُ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﻭَﺍَﺑُﻮْ ﺑَﻜْﺮٍ ﺍﻟْﻔَﺎﺭِﺳِﻴُّﻘَﺎﻟَﺎ
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺍَﺑُﻮْ ﻋُﻤَﺮِ ﺑْﻦِ ﻣَﻄَﺮٍ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺍِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢُ
ﺑْﻦُ ﻋَﻠِﻲٍّ ﺍﻟﺬُّﻫْﻠِﻲُّ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻨُﻴَﺤْﻴَﻰ
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺍَﺑُﻮْ ﻣُﻌَﺎﻭِﻳَﺔَ ﻋَﻦِ ﺍْﻷَﻋْﻤَﺶِ ﻋَﻦْ ﺍَﺑِﻲْ
ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻋَﻦْ ﻣَﺎﻟِﻚٍ ﻗَﺎﻝَ ﺍَﺻَﺎﺏَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ
ﻗَﺤْﻄٌﻔِﻲْ ﺯَﻣَﻦِ ﻋُﻤَﺮِ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ ﻓَﺠَﺎﺀَ
ﺭَﺟُﻞٌ ﺍِﻟَﻰ ﻗَﺒْﺮِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻓَﻘَﺎﻟَﻴَﺎﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍِﺳْﺘَﺴْﻖِ ﺍﻟﻠﻪَ
ﻟِﺎُﻣَّﺘِﻚَ ﻓَﺎِﻧَّﻬُﻢْ ﻗَﺪْ ﻫَﻠَﻜُﻮْﺍ ﻓَﺄَﺗَﺎﻩُ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻨَﺎﻡِ ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﺍِﻳْﺖِ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﺄَﻗْﺮِﺀْﻩُ ﻣِﻨِّﻲ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡَ ﻭَﺍَﺧْﺒِﺮْﻫُﻢْ
ﺍِﻧَّﻬُﻢْ ﻣُﺴْﻘَﻮْﻥَ ﻭَﻗُﻠْﻠَﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺑِﺎﻟْﻜَﻴْﺲِ
ﺍﻟْﻜَﻴْﺲِ ﻓَﺎَﺗَﻰ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻓَﺎَﺧْﺒَﺮَ ﻋُﻤَﺮَ ﻓَﻘَﺎﻝَ
ﻳَﺎﺭَﺏِّ ﻣَﺎ ﺁَﻟُﻮْﺍ ﺍِﻻَّ ﻣَﺎ ﻋَﺠَﺰْﺗُﻌَﻨْﻪُ، ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺍِﺳْﻨَﺎﺩٌ
ﺻَﺤِﻴْﺢٌ. )ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ، ﺍﻟﺒﺪﺍﻳﺔ
ﻭﺍﻟﻨﻬﺎﻳﺔ ٧/٩۲ ﻭﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﺟﺎﻣﻊ ﺍﻟﻤﺴﺎﻧﻴﺪ
١/۲٣٣ : ﺍﺳﻨﺎﺩﻩ ﺟﻴﺪ ﻗﻮﻱ، ﻭﺭﻭﻯ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﺑﻦ ﺍﺑﻲ ﺧﻴﺜﻤﺔ. ﺍﻧﻈﺮ: ﺍﻻﺻﺎﺑﺔ
،٣/٤٨٤ ﻭﺍﻟﺨﻠﻴﻠﻲ ﻓﻲ ﺍﻻﺭﺷﺎﺩ ١/٣١٣
ﻭﺍﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺒﺮ ﻓﻲ ﺍﻻﺳﺘﻴﻌﺎﺏ ۲/٤٦٤
ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﻓﻲ “ ﻓﺘﺢ
ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ “ ۲/٤٩٥ .
“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi
berkata, Abu Nashr bin Qatadah
dan Abu Bakar al-Farisi
mengabarkan kepada kami, Abu
Umar bin Mathar mengabarkan
kepada kami, Ibrahim bin Ali al-
Dzuhli mengabarkan kepada kami,
Yahya bin Yahya mengabarkan
kepada kami, Abu Muawiyah
mengabarkan kepada kami, dari
al-A’masy, dari Abu Shalih, dari
Malik al-Dar, bendahara pangan
Khalifah Umar bin al-Khaththab,
bahwa musim paceklik melanda
kaum Muslimin pada masa Khalifah
Umar. Maka seorang sahabat
(yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan
mengatakan: “Hai Rasulullah,
mohonkanlah hujan kepada Allah
untuk umatmu karena sungguh
mereka benar-benar telah binasa”.
Kemudian orang ini bermimpi
bertemu dengan Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam dan
beliau berkata kepadanya:
“Sampaikan salamku kepada Umar
dan beritahukan bahwa hujan akan
turun untuk mereka, dan katakan
kepadanya “bersungguh-
sungguhlah melayani umat”.
Kemudian sahabat tersebut datang
kepada Umar dan
memberitahukan apa yang
dilakukannya dan mimpi yang
dialaminya. Lalu Umar menangis
dan mengatakan: “Ya Allah, saya
akan kerahkan semua upayaku
kecuali yang aku tidak mampu”.
Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh
Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-
Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’
al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir
berkata, sanadnya jayyid (baik).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh
Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-
Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili
dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn
Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2,
hal. 464 serta dishahihkan oleh al-
Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari,
juz 2, hal. 495).
Apabila hadits di atas kita cermati
dengan seksama, maka akan kita
pahami bahwa sahabat Bilal bin al-
Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu
tersebut datang ke makam
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dengan tujuan tabarruk,
bukan tujuan mengucapkan salam.
Kemudian ketika laki-laki itu
melaporkan kepada Sayidina Umar
radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar
radhiyallahu ‘anhu tidak
menyalahkannya. Sayidina Umar
radhiyallahu ‘anhu juga tidak
berkata kepada laki-laki itu,
“Perbuatanmu ini syirik”, atau
berkata, “Mengapa kamu pergi ke
makam Rasul shallallahu alaihi wa
sallam untuk tujuan tabarruk,
sedangkan beliau telah wafat dan
tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal
ini menjadi bukti bahwa
bertabarruk dengan para nabi dan
wali dengan berziarah ke makam
mereka, itu telah dilakukan oleh
kaum salaf sejak generasi sahabat,
tabi’in dan penerusnya.
==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan
Wahhabi” karya Ust. Muhammad
Idrus Ramli, alumni Pondok
Pesantren Sidogiri tahun
1424/2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar